Note: Alana/Pitaloka's POV
____
Aku mengendap-ngendap lorong demi lorong, berusaha untuk tidak ketahuan oleh pengawal. Rencananya hari ini aku akan pergi ke tempat yang dibeli oleh Hanum.
Aku mengintip. Tidak ada orang. Berlari kecil menuju pintu dan membukanya secara perlahan agar tak menimbulkan suara.
Aku keluar dengan perasaan lega. Untung tidak ada yang melihat ku keluar. Aku berlari tergesa-gesa dan cepat menuju gerbang belakang keraton. Namun sialnya saat aku keluar seorang wanita berusia setengah abad berdiri di depan gerbang dengan mahkota yang bertengger di atas kepalanya dan beberapa prajurit juga membawa Hanum kembali masuk ke dalam keraton.
"Mau kemana kau pagi-pagi begini?" Tanya Ratu Sunda itu, Dewi Lara Linsing.
"Eh, ibu? A-aku... Ingin jalan-jalan pagi," cengo ku berusaha agar ibu tidak curiga.
"Masuk." Lembut tapi tegas, itu yang diucapkan oleh Ratu Sunda.
"Tapi-"
"Masuk. Pitaloka." Rahangnya bahkan mengeras.
Terpaksa aku berbalik dan kembali ke dalam keraton. Ibu melewati ku sambil berucap, "Temui ayahmu untuk menerima hukuman." Ujarnya acuh sambil terus berjalan dengan punggung yang tegak.
Aku menatap Ratu Lara Linsing.
Aish! Bahkan rencana awalku sudah gagal, apakah aku akan mati kedua kalinya?
Diikuti oleh beberapa pelayan yang ditugaskan untuk menjagaku, aku berjalan menuju aura istana yang megah itu.
Diatas singgasana raja Sunda duduk dengan tegas. Kemudian berucap, "Dyah Pitaloka, apa benar yang dikatakan ibumu? Kau ingin pergi dari keraton ini dengan bantuan pelayan mu?" Tanya Maharaja Linggabuana pada putrinya itu.
Aku hanya bisa menunduk, tidak bisa menjawab pertanyaan dari Raja.
"Baiklah jika kau tidak menjawab. Prajurit bawa pelayan itu kemari." Pintah Maharaja Linggabuana pada salah satu prajurit.
Seorang pelayan berjalan di atas altar dan dipenuhi lebam di tubuhnya. Itu Hanum. Aku menatapnya khawatir.
Dunia zaman ini benar-benar mengerikan!
Aku bergidik melihat luka lebam di tangan dan kakinya. Kemudian menatap sang ayah yang masih duduk di atas singgasana nya.
"Kenapa harus Hanum yang mendapatkan hukumannya, Maharaja?" Tanyaku tanpa menggunakan kata 'Ayah'.
Maharaja Linggabuana menghembuskan nafasnya, "Pelayan pribadimu ini mengajukan diri untukmu, Putriku."
Kemudian Maharaja Linggabuana memberikan instruksi kepada para prajurit. Para prajurit itu mengambil cambuk kemudian mencambuk tubuh Hanum dengan kejam di depan mataku.
Aku dapat melihat Hanum berusaha menahan rasa sakit. Tapi, sikap empatiku tak bisa menahannya.
Ini benar-benar sudah keterlaluan!
Aku berteriak. "Tidak! Hentikan! Hukum aku saja, jangan Hanum!" Ujarku tegas dengan mata berkaca-kaca.
Maharaja Linggabuana memberikan instruksi untuk berhenti dan disetujui oleh prajurit. Kini Hanum dibawa oleh para pelayan lain untuk diobati.
"Baiklah. Aku akan memberimu hukuman." Ucap Maharaja Linggabuana.
Aku menatapnya tegas. Aku siap untuk dicambuk walaupun rasa takut masih menyelimuti diriku.
Maharaja turun dari singgasana kemudian memegang bahuku. "Putriku sudah dewasa. Luar biasa." Ujarnya.
Aku mengernyit heran. Itu pujian?
"Aku sepertinya sudah bisa melepas mu." Lanjutnya lagi.
Tunggu!
Melepas?
Jangan bilang mereka menyetujui ku untuk pergi dari keraton.
Jika itu benar, aku bersumpah akan membuatkan semua orang di keraton ini seblak.
Aku menatap mata Maharaja Linggabuana dengan mata yang berseri-seri. "Benarkah, Ayah?"
"Wah. Putriku benar-benar bahagia. Baiklah, ayah akan memberikan kabar bahwa putriku sudah menyetujui mereka." Ujarnya kemudian kembali ke singgasananya.
Eh!
Mereka?
Siapa?
Jangan-jangan aku...
"Ayah." Panggil ku.
Maharaja Linggabuana langsung menoleh. "Mereka? Siapa?" Tanyaku.
"Majapahit. Maharaja Sri Rajasanagara mengirim surat lamaran kemarin." Jawabnya singkat.
Aku mengerjap. "Kenapa ayah baru memberitahu?"
Hei! Ini gila! Gue gak mau matoy anjir!
"Ayah ingin memberikan kejutan untukmu. Ayah tahu pasti kau akan sangat senang. Lagipula ini juga penting untuk politik dan kerajaan kita." Ujarnya.
Senangnya dimana coba? Yang ada gue bakal mati gara-gara Mahapatih itu!
"Ayah begini, kenapa ayah tidak bertanya dulu padaku sebelum memutuskan?" Tanyaku.
"Melihat dari binar matamu. Ayah sudah tahu kau pasti senang." Ujar Maharaja Linggabuana kemudian berjalan pergi.
Ditinggalkan oleh Maharaja, aku berjalan menuju kamar dan duduk merenung. Rasanya seperti bahagia mendengar kabar lamaran itu tapi entah kenapa menurutku tidak.
Apa ini perasaan Pitaloka?
***
Aku duduk sendirian di kamarku, berusaha merenungkan semua yang telah terjadi. Berita tentang lamaran dari Maharaja Sri Rajasanagara masih terus menghantuiku. Aku tidak ingin menikah dengan orang yang tidak aku kenal, terlebih lagi dalam zaman yang tidak aku inginkan. Aku merasa terjebak dalam takdir yang tidak aku pilih.
Namun, di balik semua kebingungan dan kekhawatiran itu, ada kekuatan dalam diriku yang berkobar. Aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku akan mencari cara untuk mengubah takdirku, untuk kembali ke zaman ku sendiri.
Aku memutuskan untuk mencari bantuan dari Hanum. Dia telah menjadi teman dan sahabat setia bagiku sejak aku terdampar di zaman ini. Dia selalu ada di sampingku, mendukungku, dan membantuku dalam setiap langkahku. Aku tahu aku bisa mengandalkan dia.
Aku pergi ke kamar Hanum dan menemukannya sedang merawat luka-lukanya. Aku merasa bersalah karena dia harus menderita karena aku. Namun, dia tersenyum saat melihatku.
"Bagaimana keadaanmu, Hanum?" tanyaku khawatir.
Hanum mengangguk. "Aku baik-baik saja, Putri. Luka-lukaku sudah mulai sembuh. Tapi, bagaimana denganmu? Aku mendengar kabar tentang lamaran dari Maharaja Majapahit."
Aku menghela napas. "Ya, kabar itu benar. Ayahku telah menerima lamaran itu tanpa menanyakanku terlebih dahulu. Aku merasa terjebak, Hanum. Aku tidak ingin menikah dengan orang yang tidak aku kenal."
Hanum menatapku dengan penuh simpati. "Aku mengerti perasaanmu, Putri. Tapi jangan kehilangan harapan. Kita akan mencari cara untuk mengubah takdirmu."
Aku tersenyum pada Hanum. Dia selalu memberiku harapan dan keyakinan. Bersamanya, aku merasa lebih kuat.
"Terima kasih, Hanum. Kita akan mencari jalan keluar bersama-sama."
Kami berdiskusi dan merencanakan langkah-langkah selanjutnya. Kami memutuskan untuk mencari bantuan dari seorang dukun yang konon memiliki kekuatan spiritual yang kuat. Mungkin dia bisa membantu kami menemukan cara untuk mengubah takdirku.
Dengan harapan yang baru, aku merasa semangat untuk melanjutkan perjuanganku. Aku tidak akan menyerah. Aku akan berjuang untuk kebebasanku, untuk kembali ke zaman ku sendiri.
Kami berangkat menuju tempat tinggal dukun itu, dengan keyakinan bahwa di sana mungkin ada jawaban untuk semua pertanyaan kami. Perjalanan ini adalah langkah pertama dalam perjalanan panjang kami untuk mengubah takdirku.
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengubah Takdir Putri Pitaloka
Historische RomaneTerdampar ke 600 tahun yang lalu. Tepat di jaman pemerintahan Majapahit. Apakah transmigrasi jiwa itu nyata? Itulah yang dialami oleh Alana. Apalagi ia memasuki tubuh Putri Kerajaan yang akan meninggal di usia muda, 17 tahun. Akankah ia berhasil...