Rasa basah dan dingin menyelimuti diriku, nafasku ikut berhenti, aku segera berenang ke atas. Aku ada di ... Telaga?
Aku memperhatikan sekeliling. Ini hutan. Benar-benar hutan. Kenapa aku bisa ada disini? Apa karena pasien aneh itu?
Sayup-sayup aku mendengar suara beberapa orang.
"Dyah!"
"Dyah Pitaloka!"
"Tuan Putri!"
Aku keluar dari telaga. Dan berteriak, "Gue di sini!" Mungkin saja itu orang suruhan ayahku, dan mungkin saja berita tentang ayahku yang masuk rumah sakit itu cuma mimpi.
Menunggu orang-orang itu datang, aku mengeringkan pakaian yang kukenakan. Tapi, saat melihat pakaian ku. Aku terkejut. Ini bukan seragam pameran, 'kan?
Beberapa orang dengan pakaian sirah yang membuatku mengernyitkan dahi datang bersama seseorang yang berpakaian layaknya dayang.
"Dyah, anda baik-baik saja? Anda basah kuyup!" Hebohnya melihat ku basah.
"Lo siapa?" Tanyaku linglung.
"Ll-l-lo? Apa yang Dyah Ayu bicarakan?" Tanyanya.
WTF! Ini orang pedalaman kah? 'Lo' aja gak tau!
"Mana kameranya? Kok gue bisa basah kuyup sih? Gue kan bilang gak mau jadi aktris!" Ucapku tapi orang-orang lain menatapku heran.
"Kamera? Ak-tirss?"
Oh, aku bisa gila! Kenapa dengan orang-orang ini? Dan, apa yang mereka pakai? Baju sirah?
"Haha," seseorang yang berpakaian dayang itu tertawa, "Dyah Ayu pasti demam. Kalian jangan perhatikan ini ya," ujarnya terkekeh lalu menuntunku untuk berjalan.
Aku berhenti. "Gue gak mau ya! Kalian siapa sih?"
Perempuan berpakaian dayang itu mendekat, "Dyah Ayu pasti bingung sampai berbicara bahasa aneh. Ayo tuntun Dyah Ayu ke kereta."
Kenapa mereka terus menggunakan bahasa formal sih? Sebenarnya gue dimana? Apa jangan-jangan gue udah mati?
Mereka membawaku ke sebuah mansion yang kudengar mereka menyebutnya keraton. Perempuan tadi membawaku ke dalam kamar dengan hiasan yang lebih mewah dan tertata rapi.
"Dyah Ayu bisa beristirahat. Hamba akan membawakan makanan kemari." Ujarnya sedikit menunduk kemudian berbalik.
"Tunggu!" Ucapku, ia berhenti. "Kau belum menjawab pertanyaan ku. Kau siapa?" Aku menggunakan bahasa formal seperti mereka.
Ia berbalik. "Sebenarnya Dyah Ayu kenapa? Maaf saya lantang. Saya adalah Dayang pribadi Dyah, Hanum." Ucapnya.
"Dayang pribadi? Apakah aku mimpi atau sudah mati?" Tanyaku kemudian mencubit pipiku.
"Eh, Dyah. Jangan disakiti." Ujarnya melihatmu berusaha mencubit pipiku dengan kuat.
"Augh!"
Ini sakit. Ini bukan mimpi? Tu-tunggu! Ini bukan mimpi?!
"Siapa namaku, Hanum?" Tanyaku pada perempuan itu.
"Menjawab Dyah Ayu, Anda adalah Putri Keraton ini, Dyah Pitaloka Citraresmi." Jawabnya dengan kikuk.
Dyah Pitaloka Citraresmi?
Kok?
Hei!
Itu bukan Putri Sunda yang bunuh diri, 'kan?
"Mana cermin?" Hanum segera memberikanku cermin dan dengan cepat kuperhatikan wajahku.
Hanya satu kata, cantik. Wajah oval, kecil, mata sayu, hidung mancung, wajah tirus, kulit putih dan tanpa bintik-bintik, serta mata bulat yang mempesona. Ini benar-benar sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengubah Takdir Putri Pitaloka
Historical FictionTerdampar ke 600 tahun yang lalu. Tepat di jaman pemerintahan Majapahit. Apakah transmigrasi jiwa itu nyata? Itulah yang dialami oleh Alana. Apalagi ia memasuki tubuh Putri Kerajaan yang akan meninggal di usia muda, 17 tahun. Akankah ia berhasil...