Note: Author's Point of View
___
Di sebuah keraton yang mewah nan megah sekaligus besar. Seorang pria dengan aura Kepemimpinannya yang terasa kuat dan mencekam sedang berkutat dengan banyaknya dokumen-dokumen keuangan kerajaan.
Ia memijat pelan pelipisnya. Sudah sejak kemarin pagi ia tak tidur apalagi sarapan karena di pusing kan oleh koruptor-koruptor negara.
Seorang pria di sampingnya hanya bisa diam dan melihat apa yang dilakukan oleh tuannya itu. Sudah berkali-kali ia meminta tuannya untuk beristirahat sebentar tapi selalu ditolak dengan alasan demi Majapahit.
Ia akhirnya membuka suara, "Prabu, sudah waktunya Anda untuk makan. Jaga kesehatan Anda." ujar nya.
Pria yang dipanggil Prabu itu menghentikan kegiatan menulis nya. "Baiklah. Bawakan aku teh saja, Wicaksana." ujar pria itu.
Pria bernama Wicaksana itu menurutinya dan menyuruh pelayan untuk membawakan teh hangat untuk Maharaja negara adidaya itu.
"Prabu Hayam Wuruk, Anda harus beristirahat." ujar Wicaksana dengan khawatir.
"Tidak. Aku harus mengetahui siapa yang bermain politik ini dengan cepat." ujarnya tegas membuat aura kepemimpinannya keluar.
Wicaksana sendiri tak bisa berbohong dengan aura kuat milik tuannya itu. Bahkan, saat Wicaksana pertama kali bertemu dengan tuannya itu pada hari penobatan tuannya sebagai Maharaja, ia tak bisa mengelak dengan getaran intens milik tuannya yang waktu itu baru enam belas tahun.
Dia sendiri lebih tua dua tahun dari tuannya, artinya ia sekarang berusia dua-puluh-empat tahun dan tuannya berusia dua-puluh-dua tahun.
Saking sibuknya dengan urusan negara, Hayam Wuruk melupakan satu hal yang penting, yaitu keluarga. Tribuana Tunggadewi sudah berkali-kali memperkenalkan putri dari berbagai bangsa kepadanya, tapi tetap saja menerima penolakan dari Maharaja Majapahit itu.
Dan sebenarnya kemarin, ia diundang oleh Kerajaan tetangga, Kerajaan Sunda, untuk hadir di acara ulang tahun putri mereka. Tribuana Tunggadewi sangat bahagia mendengar undangan itu, ia berharap bisa mempertemukan putranya dengan Putri dari Kerajaan Sunda yang terkenal cantik dan tutur katanya lembut.
Tapi, sayang sekali. Harapan Tribuana Tunggadewi kali ini memudar ketika putranya--Hayam Wuruk--memiliki banyak pekerjaan yang harus diurus nya. Terpaksa Tribuana Tunggadewi pergi mewakili nya bersama dengan adiknya, Dyah Nertaja.
"Apa Ibu sudah pulang?" tanya Hayam kepada tangan kanannya itu.
"Ibu Ratu sedang dalam perjalanan pulang, Prabu." jawab Wicaksana.
Hayam memegang kepalanya lagi. "Kira-kira siapa lagi yang akan ibuku perkenalkan kali ini, Wicaksana?" tanyanya yang seperti gumaman.
Wicaksana hanya bisa tersenyum. "Ibu Ratu pasti sudah bertemu dengan Putri Sunda itu. Dia pasti akan melebih-lebihkan agar Anda bisa cepat menikah, Prabu." ujar Wicaksana.
"Benar-benar. Ngomong-ngomong, bagaimana dengan tunanganmu, Wicaksana? Kau harus menikah agar tidak menua." Ujar Hayam pada Wicaksana.
"Bagaimana aku menikah jika tuanku sendiri belum menikah? Aku akan menikah saat Prabu sudah menikah juga." Balas Wicaksana.
"Terserah kau." Sahut Hayam acuh tak acuh.
Ia kembali melanjutkan pekerjaannya. Namun, beberapa menit kemudian pintu tiba-tiba didobrak oleh seseorang yang tak lain adalah sepupunya, Putri Sudewi.
"Hayam!' ia memasuki ruangan namun kemudian merasa malu karena melihat orang yang dicarinya sedang bekerja. "Maaf, aku tidak bermaksud mengganggumu." Ucapnya.
"Katakan, Sudewi." Ucap Hayam Wuruk singkat.
"Ibu Ratu Tribuana Tunggadewi sudah tiba. Katanya ada sesuatu yang ingin dibicarakan." Sudewi memberitahu.
Hayam Wuruk berdiri. "Dimana ibuku?" Tanyanya mendekati Sudewi.
"Kamar Anda, Prabu."
Hayam segera melangkah keluar tapi tiba-tiba tangannya dipegang seseorang dan itu adalah Sudewi, "Kenapa lagi?"
Sudewi melepas genggamannya. "Begini, jika Ibu Ratu kembali membicarakan tentang perjodohan Anda dengan Putri dari negara lain, bisakah kau menolaknya? Maksudku kau harus mengingat pesan dari nenek, Ratu Gayatri, sebelum ia wa--"
"Jangan pernah menyebut nama nenekku." Hayam kini berhadapan dengan Sudewi yang membuat gadis itu semakin takut. "Dan ingat Sudewi, tidak ada yang menentukan siapa yang akan menjadi permaisuri nanti. Itu tergantung diriku, cukup jangan ikut campur." Ucap Hayam tegas kemudian melesat dari sana meninggalkan Putri Sudewi sendiri dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
"Tidak bisakah kau membuka hatimu?" Gumam Sudewi melihat ke arah Hayam Wuruk yang berjalan pergi.
***
Hayam memasuki kamarnya dan melihat sang ibunda duduk di bangku yang ada di kamarnya. "Kapan ibu pulang? Kenapa tidak menemui ku terlebih dahulu?" Tanyanya kemudian menuangkan teh untuk ibunya.
"Ibu punya kejutan untukmu." Ujar Tribuana Tunggadewi dengan mata yang berseri-seri sekaligus bersemangat.
Hayam menatap ibunya curiga. "Jangan bilang ibu menemukan seorang putri yang akan dijodohkan denganku," tebaknya.
"Wah, putraku benar-benar luar biasa! Aku bahkan belum mengatakan tapi kau sudah bisa menebaknya." Ujar Tribuana Tunggadewi.
"Siapa lagi kali ini?" Hayam Wuruk acuh tak acuh.
"Pelayan panggil Mpu Sungging!" Pintahnya pada pelayan keraton.
Tidak lama kemudian, orang yang ditunggu akhirnya tiba. Tribuana Tunggadewi menyuruh Mpu Sungging melukiskan wajah seseorang sesuai dengan arahan nya. Hayam berusaha untuk mengintip tapi Tribuana Tunggadewi tetap tidak mengijinkannya.
"Ibu! Aku ingin melihat siapa yang dilukis!" Ujarnya kesal.
"Tolong bersabarlah, Prabu." Ucap Tribuana Tunggadewi.
Mpu Sungging tetap fokus melukiskan wajah itu dan sekarang tinggal sentuhan terakhir. Ia pun memperhatikan wajah yang ia lukis, "I-ini ... Kecantikan abad--"
Hayam menoleh tapi Mpu Sungging tidak meneruskan ucapannya karena di pelototi oleh Ibu Ratu, Tribuana Tunggadewi.
"Prabu, lukisan sudah selesai. Anda bisa melihatnya." Ujar Mpu Sungging mundur beberapa langkah untuk memberikan jalan kepada Raja-nya itu.
Hayam Wuruk perlahan melihat lukisan itu. Itu adalah seorang gadis dengan senyuman indah yang menghiasi wajahnya. Matanya sayu dan lentik, alisnya simetris, dan wajah anggun dan elegan itu.
Hayam merasa terhanyut oleh lukisan wajah gadis itu. Ia tersenyum kemudian berbicara, "Siapa dia?"
"Putri Maharaja Linggabuana, Dyah Pitaloka Citraresmi."
BERSAMBUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengubah Takdir Putri Pitaloka
Historical FictionTerdampar ke 600 tahun yang lalu. Tepat di jaman pemerintahan Majapahit. Apakah transmigrasi jiwa itu nyata? Itulah yang dialami oleh Alana. Apalagi ia memasuki tubuh Putri Kerajaan yang akan meninggal di usia muda, 17 tahun. Akankah ia berhasil...