5. Mie ayam

62 15 4
                                    

Karin memasuki rumahnya, mengganti sepatu dengan sandal rumah. Ia berjalan menyusuri ruangan demi ruangan kosong tak terisi.

Gelap, dingin, Karin tak suka.

Dirinya berjalan menuju ruang laundry, melepas sebuah jaket hitam milik Haidan setengah basah karena gerimis di perjalanan tadi, yang dipinjamkan cowok itu ketika mengantarnya ke rumah.

Karin menarik senyum, coba saja jaket ini tak basah pasti sudah ia pakai tidur. "Thanks, Idan."

Gadis itu mengerjap pelan ketika mendengar suara pecahan beling dari arah dapur. Karin segera memasuki jaketnya ke dalam mesin cuci lalu menutupnya.

Karin berjalan menuju sumber suara, dan ia sedikit terkejut ketika mendapati seorang pemuda membungkuk di bawah kitchen bar sedang membersihkan pecahan gelas.

"Wondi?" panggil Karin. "Kenapa?"

Pemuda dengan raut dingin itu tak menjawab, ia mengumpulkan beling ke atas tissue, namun Wondi harus meringis ketika tangannya kurang berhati-hati, dan tergores.

Darah segar mengalir mengenai lantai, Wondi segera menyembunyikan telapak tangannya yang luka.

Karin berdecak, ikut membungkuk dan menarik paksa lengan Wondi. "Lo selalu ceroboh!" ucap Karin sambil memegang lengan adiknya. "Cuci dulu lukanya, biar gue yang beresin."

Wondi tak mengatakan apapun dan memilih menurut saja untuk mencuci sisa darah, sementara Karin membereskan beling yang berserakan.

"Duduk disitu, jangan kemana-mana. Gue obatin luka lo," ujar Karin sambil berjalan menuju kotak P3K di ruang tengah.

"Gausah luka dikit doang,"

Karin mendesah pelan. "Mana tangan lo!"

"Gue aja." Wondi menarik diri hendak pergi ke kamarnya.

Karin menahan lengan pemuda ini, "luka bonyok di wajah lo belum sembuh, sekarang lo luka lagi,"

"Gue cowok, Rin. Gue udah gede juga."

"Tapi lo adek gue!" tekan Karin. "Lo tanggung jawab gue kalau mama papa gak ada. Gue bisa lo andalkan Wondi, lo gak harus apa-apa sendiri, lo punya kakak disini."

Wondi menelan salivanya menatap binar mata Karin yang penuh ketulusan. Keduanya hanya memiliki satu sama lain di rumah ini. Namun, dari Karin maupun Wondi seperti ada tembok tinggi yang membatasi interaksi kedua saudara ini.

Rasanya ingin bertanya bagaimana harinya, nonton film bareng, atau bahkan makan malam bersama. Tak apa tak dengan orang tua, hanya mereka berdua saja sudah cukup.

Tapi itu sulit sekali. Keduanya memiliki ego sama-sama tinggi.

Wondi duduk di hadapan Karin, membiarkan tangannya di obati.

"Rin? Lo juga," ucap Wondi.

Karin menatap pemuda ini, "gue juga? Apa?"

"Lo juga punya adek disini. Lo juga bisa mengandalkan gue." ucap Wondi penuh kehati-hatian.

Karin menarik bibirnya lalu mengangguk samar.

Tak disadari, Wondi juga tersenyum tipis.

Ini yang mereka inginkan, kehangatan antar saudara yang sudah lama mereka dambakan. Namun, apakah setelah ini hubungan mereka akan baik, atau malah kembali lagi seperti dulu.

***

Sebuah mobil sedan lewat, membuat air di genangan tengah jalan terciprat sedikit mengenai sebuah banner jualan kedai mie ayam di persimpangan jalan itu.

That Boy✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang