10. Sayang?

30 12 0
                                    

Haidan berjalan secepat mungkin menyusuri gang-gang sempit, jalan raya, jembatan penyebrangan, hanya untuk menuju ke taman kota. Langkahnya terhenti ketika dirasa yang ia cari sudah ditemukan.

Dari jarak beradius lima meter dari dirinya berdiri, seorang gadis sedang duduk di kursi besi membelakangi Haidan.

Haidan menghela napas dalam, sebelum kakinya kembali melangkah untuk menemui gadis itu.

"Udah lama, Rin?" tanya Haidah ketika baru datang dan duduk di samping gadis itu.

Karin menoleh sambil tersenyum manis. "Istirahat dulu," ucap Karin sambil memberikan kantong plastik berisikan es krim mangga.

Haidan menerimanya lalu membuka bungkus es krim mangga itu.

"Lo lari kesini?"

Haidan mengangguk sambil menggigit bagian es krim.

"Gak naik motor?"

"Dipake kakak gue ke kampus,"

Karin mengangguk paham. Gadis itu mengulum bibirnya. "Dan?"

"Lo mau ngomong apa? Deg-degan nih gue," kata Haidan yang langsung menghabiskan dengan cepat es krim itu.

"Eung—"

"Kenapa sih?"

"Ada banyak banget yang mau gue omongin,"

"Bilang aja, gue dengerin kok."

"Pertama, cowok yang gue tolongin pas dia ditonjok abis-abisan sama Tegar di kantin waktu itu..." Karin sedikit menggantung ucapannya.

"Iya?" sahut Haidan karena cukup lama Karin terdiam.

"....dia adek gue. Wondi, adek kandung gue."

Haidan sedikit membelalakan matanya, namun sebisa mungkin ia menutupi rasa terkejutnya itu. Akhirnya, rasa penasarannya terbayarkan sudah. "Oh..." jawab Haidan.

"Bahkan, Fero, Hesa, Jevano, sama Haris pun gak tau kalau gue punya adek," Ujar Karin. "Lo orang pertama yang gue kasih tau.

"HAH? SERIUS?" tanya Haidan dengan nada kaget. "Kok bisa? Kalian kan temenan, masa hal sepele gini mereka gak tau,"

"Gak ada yang tau tentang keluarga gue, Dan. Lebih tepatnya gue yang gak mau ngasih tau, bahkan temen deket gue pun—Sonya dan Gisel."

"Kenapa?" tanya Haidan. "Sorry... itu emang hak lo mau ngasih tau atau enggak, maksud gue... kenapa harus gue yang tau pertama?"

Karin menarik senyumnya. "Orang tua gue sibuk. Mama itu model ternama, kalau gue kasih fotonya pasti lo kenal dan lo gak percaya, karena Mama memang seterkenal itu. Papa... gue gak inget bagaimana wajahnya, Dan. Selama 17 tahun gue udah gak pernah ketemu dia. Dia masih ada, dia selalu kirim gue dan Wondi transferan uang, tapi dia selalu bilang jangan nemuin dia sebelum dia suruh. Dan sampai sekarang, Papa gak pernah bilang kalau dia mau ketemu kita."

Haidan tertegun. "Orangtua lo—"

"Mereka masih berhubungan baik kok, tapi ya gitu. Sibuk."

"Wondi gimana?"

"Hubungan gue dan dia perlahan baik, sebelumnya dia gak pernah mau ngomong sama gue, begitupun gue yang gak peduli sama dia. Semakin dewasa, gue sadar. Cuman Wondi yang ada di sisi gue, bukan Mama atau Papa gue."

Tangan Haidan bergerak mengelus pundak Karin. "Lo kakak yang hebat."

Karin terkekeh. "Gue capek sebenernya, Dan... semua orang selalu bilang 'enak ya jadi elo' padahal kalau gue bongkar apa yang gue rasain, mungkin aja mereka bakal narik omongan itu."

"Sebelumnya, gue gak pernah ngerasa seneng, aman, dan nyaman." Ucap Karin sembari menoleh mendapati Haidan yang menatap ke arahnya. "Tapi gue ketemu lo, yang bahkan bukan dari kalangan temen deket gue. Tapi gue ngerasa bahagia kalau sama lo Haidan."

Haidan menelan salivanya susah payah, ia memutus tatapan Karin dan membuang muka. "Kenapa gue?"

"Gue suka sama lo."

Haidan langsung berdiri. "Karin? Gue gak paham!"

"Idan, lo cowok pertama yang bikin gue ngerasa mencintai seseorang tanpa alasan."

"Rin, lo harus pikir dua kali. Gue gak pantes buat lo!"

Karin ikut berdiri dan melangkah ke depan lebih dekat pada Haidan. "Pantes."

"Karin... kita gak sebanding. Bahkan, kita berdiri di tanah yang sama pun tetep aja beda, lo terlalu tinggi untuk gue yang biasa aja."

"Ngomong apa sih, Dan?"

"Karin sorry...." Ucap Haidan. Setelah itu, Haidan berbalik badan dan berjalan meninggalkan Karin.

"Haidan berhenti!"

"Gue gak mau. Gue gak bisa liat lo sekarang," ucap Haidan yang masih melanjutkan langkahnya.

Karin bergerak menyusul. "Gue sayang lo."

"Gak denger!"

"I LOVE YOU!!!!"

"Bodo amat. Gue gabisa inggris!"

"Kampret!" umpat Karin yang masih melangkah menyusul Haidan. "Haidan gue cinta sama lo TITIK!"

"Gak!"

"CINTA MATI!"

"Karin udah ah!!"

Karin berlari lalu menghadang Haidan dari depan. Haidan terkejut ketika Karin sudah berada di depannya. Apalagi, ketika gadis itu mulai memajukan wajahnya, mengikis jarak antara Haidan dan Karin.

Haidan semakin dibuat membatu dengan pergerakan Karin yang tiba-tiba.

Karin mengecup pipi bulat Haidan.

Haidan membulatkan matanya ketika merasakan itu.

"Mau ga lo bales perasaan gue?" Final Karin mengakhiri kecupan itu sambil tersenyum.

Haidan masih mematung dan memperhatikan sorot mata Karin yang berkaca-kaca.

Sampai pada akhirnya, Haidan menarik pipi Karin dan mendekatkan wajahnya lagi untuk mengecup singkat pipi Karin sebagau balasannya.

"Rin, gue sayang lo juga boleh ga?"

Karin terkekeh dan berdecih. "Tadi aja kabur,"

Haidan menggaruk tengkuknya yabg sebenarnya tak gatal sama sekali. "Gue... Salting,"

Karin tertawa. "Pacaran yuk?"

Haidan mengangguk. "Tapi gue cuman Haidan, cowok biasa---"

Karin mengecup Haidan untuk membungkam ucapan lelaki itu. "Stop jangan merendah gitu. Gue gak suka! Mana Haidan yang tingkat kepercayaan dirinya tinggi itu? Masa di depan yang lain lo PD banget, sementara di depan gue lo ciut gini!"

"Hehe maaf." Ucap Haidan.

"S-sayang?"

"Iya, sayang?"

Karin menemukan. Menemukan Cowok Itu, lelaki yang Karin cintai tanpa alasan.

Dia Haidan.

That Boy. My lovely boyfriend. I love you! Haidan... Batin Karin.

Author : hadeuhhh dasar anak remaja!!

Selesai...

Walaupun sedikit banget yang baca, sedikit vote, sangatttt sedikit komen juga, tapi akhirnya aku bisa selesaiin cerita ini.

Terimakasih yang udah ngikutin cerita "Mipa Lima Class" dan "That Boy" dari awal, love youuu guys

Support aku di cerita cerita yang lainnn

Fairytopia, 28 September 2024

Salam hangat,

Rainfieldxs

That Boy✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang