"Selamat kalian udah masuk kelas terakhir, yaitu kelas 12, setelah ini kalian bebas mau memilih masa depan kalian bagaimana, ana akan tetap mendoakan yang terbaik untuk ikhwah semua. Ana pergi dulu, Assalamualaikum."
"Na'am, Ustadz. Waalaikumsalam."
Seorang lelaki paruh bawa dengan sorban di kepalanya berjalan keluar dari ruang kelas meninggalkan para murid yang langsung membereskan alat belajar mereka.
"Alhamdulillah tahun ini gak ada acak kamar, gue jadi tetep satu kamar sama kalian." Ndaru tersenyum kepada ketiga temannya.
Yudha melirik Ndaru dengan tatapan sinis. Ia memasukkan buku miliknya ke dalam tas lalu berkata, "Karena cuma kita yang berani temenin lo pas kesurupan tiba-tiba, yang lain gak mau."
Ndaru cengengesan mengingat apa saja yang sudah terjadi pada teman-temannya saat ia berada dalam fase lemah. Ndaru menganggap kesurupan adalah fase lemah dalam hidupnya.
"Maaf, lagian kenapa nyokap gue pake indigo segala, jadi nurun ke gue."
"Udah indigo, gampang kesurupan lagi," celetuk Taufan yang duduk di sebelah Yudha.
Edwin tertawa mendengar celetukan Taufan. Ia yang duduk di sebelah Ndaru langsung memukul lengan Ndaru menggunakan buku fisika yang berada di tangannya.
Mereka berempat berdiri lalu berjalan keluar dari kelas untuk segera menuju asrama dan mengganti seragam dan siap-siap salat Ashar.
"Habis salat Ashar kalian mau ngapain?" tanya Edwin.
"Gue mau latihan bola," balas Yudha.
Edwin menganggukkan kepalanya.
"Gue bosen, saran kegiatan buat gue, dong," pinta Taufan yang menganggur setiap selesai sekolah.
Ndaru menendang-nendang kerikil yang berada di hadapannya. "Siapa suruh keluar dari ekskul paskibra, udah enak gak nganggur, eh malah nganggur lagi."
Taufan melepas sepatu yang ia kenakan lalu hendak memukul Ndaru menggunakan sepatu yang ia pegang.
Yudha dan Edwin menahan kedua temannya yang hendak bertengkar di sana.
"Lo mau gue bengek pas latihan?"
"Lo aja yang gak pinter pilih ekskul, udah tahu asma malah ikut paskibra."
Emosi Taufan semakin memuncak, ia hendak melempar sepatunya tetapi Yudha langsung mengambil paksa sepatu hitam yang hampir melayang ke arah Ndaru.
"Udah! Gue bukannya gak mau kalian berantem karena takut kita bakal terpecah, tapi gue gak mau kalian berantem karena gue malu!"
Taufan dan Ndaru berhenti bertengkar lalu menatap sekeliling mereka. Betapa terkejutnya karena banyak santri lain yang berkumpul dan menonton mereka bertengkar.
"Loh? Kok selesai? Ayok lanjutin lagi, lumayan hiburan," ucap salah satu santri yang menonton paling depan.
Taufan dan Ndaru langsung bergandengan tangan dan berlari secepat kilat melewati gerombolan santri yang menonton.
"Kalian ngapain masih pada di sini? Cepetan pergi, udah selesai acaranya!" seru Edwin memecah keheningan.
Mereka semua bubar dan kembali melanjutkan kegiatan masing-masing.
"Kita pergi juga nggak?" tanya Yudha kepada Edwin.
Edwin tersenyum gemas lalu mencubit lengan Yudha dengan tenaga yang pelan.
"Pergi, lah! Masa iya di sini aja. Yuk pergi."
Mereka berdua berjalan beriringan menuju wilayah asrama putra.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mimpi Kalangan Bawah.
Teen Fiction"KITA JUGA PUNYA CITA-CITA!" Hidup memang tidak selalu berpihak pada kita. Kekayaan dan privilege menjadi salah satu senjata bagi orang-orang menggapai impiannya. Lalu, jika ada yang tidak memiliki itu semua, apa akan tetap bisa menggapai impiannya...