٥

46 13 6
                                        

"Mau ke mana?"

Langkah mereka terhenti.

Yudha langsung menoleh untuk melihat siapa itu. Setelah melihat siapa orang yang bertanya, nafas Yudha langsung lancar.

"Malik! Yuga! Bikin kaget aja," ujarnya kepada dua orang yang ada di belakang mereka.

Dua orang itu adalah Malik dan Yuga. Mereka berdua entah habis dari mana tapi pakaian mereka sudah seperti anak rumahan, alias kaus dan kolor.

"Jawab, mau pada ke mana pake hitam-hitam begini? Mau pada jadi ninja?" tanya Yuga dengan intonasi suara galaknya yang khas.

Yudha berjalan mendekati Yuga dengan senyuman memohon.

"Jadi begini .... Taufan ada kebutuhan di luar pesantren, dan ini mendadak banget gak bisa besok-besok. Lo tau sendiri kalau malam-malam gak boleh keluar, jadi kita-kita mau pake cara paling ampuh."

Malik yang sedari tadi diam langsung menebak.

"Kabur?"

Edwin bertepuk tangan sebanyak satu kali lalu mengacungkan dua jari jempol kepada Malik sembari berkata, "Tepat sekali, jadi gue mohon ke lo berdua buat gak kasih tau orang-orang."

Yuga dan Malik mengucap istighfar bersamaan setelah mendengar permintaan Edwin.

Taufan yang mengajak akhirnya angkat bicara.

"Yuga, Malik, gue yang ajak mereka buat keluar. Alasan kita gak aneh, kok. Gue mau beli buku biologi yang lebih lengkap di luar. Kenapa gue gak bisa pergi besok-besok gak akan gue kasih tau, intinya gue cuma bisa sekarang aja. Jadi, untuk kali ini aja kalian bantu gue, bilangin ke Heru, Joe, sama Fahad juga."

Yuga dan Malik menatap satu sama lain, mereka cukup ragu untuk membantu mereka berempat. Ada rasa tidak enak di dalam hati mereka, tapi jika menolak maka mereka ada rasa bersalah.

"Ya udah, kita bantu se-bisa kita. Tapi kalau guru-guru bahkan Kiai yang nanya, kita gak bisa bohong." Yuga menjawab dengan hati-hati.

Mereka berempat tersenyum lega mendengar persetujuan dari Yuga.

"Makasih, ya," kata Taufan dengan senyum lega di bibirnya.

Mereka semua berpisah ke arah yang berbeda. Keempat laki-laki itu berjalan menuju sebuah tembok yang tidak begitu tinggi tapi sangat jarang dipakai kabur, bahkan tidak pernah.

"Yakin lewat sini?" tanya Edwin kepada Yudha yang berdiri di paling depan.

"Ke mana lagi? Tempat yang biasanya dipake buat kabur udah dipasang cctv."

Mata Taufan melebar mendengar informasi tersebut.

"Kapan?" tanyanya.

"Kemarin sore."

Yudha meraih bagian paling atas tembok dan melompat naik. Saat sudah berada di atas, Yudha menoleh ke belakang dan menyuruh ketiga lainnya untuk melompati tembok.

Yudha turun terlebih dahulu. Yang lain langsung menyusul, dan sekarang mereka sudah berada di luar pesantren. Tempat yang mereka lewati adalah sebuah tanah kosong yang dipenuhi rumput-rumput serta pohon-pohon tinggi. Pencahayaan di sana hanya bermodalkan bulan purnama yang bersinar di atas langit.

"Ayo jalan, jangan bengong dulu," kata Ndaru dan langsung memimpin jalan.

Mereka menelusuri jalanan yang berumput menuju sebuah pemakaman yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tembok belakang pesantren. Pemakaman itu sangat gelap, dan terdapat jembatan yang menghubungkan antara dua tanah.

Mereka melewati pemakaman tanpa berbicara sedikitpun. Tidak ada rasa takut, yang ada hanya fokus agar tidak salah injak.

Pemakaman itu cukup luas, butuh waktu beberapa menit untuk sampai di gerbang depan pemakaman. Saat mereka sudah keluar dari pemakaman dan menginjak jalan aspal, mereka menghela nafas lega.

Mimpi Kalangan Bawah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang