Di sinilah Taufan berada, duduk di atas ranjang UKS dengan nebulizer yang terpasang di wajahnya. Perasaan Taufan sangat campur aduk, di mana lelah, sedih, kesal, sakit, semuanya jadi satu. Karena terlalu stres, nafas Taufan tidak kunjung membaik dan kembali normal.
Stamina Taufan yang biasanya kuat-kuat saja walau asma, kini tiba-tiba jadi drop karena terlalu sering begadang untuk belajar. Semalam saja Taufan belajar sampai jam satu malam, padahal jam tiga semua santri harus bangun untuk salat tahajjud dan dilanjutkan mengaji bersama. Kapan Taufan tidur? Entah, Taufan pun bingung.
Rasa pusing di kepalanya membuat Taufan merasa ingin tidur agar cepat hilang, tapi sesak nafas membuatnya kesulitan tidur.
Di tengah-tengah melamun, pintu terbuka dan suara wanita mengucapkan salam masuk ke dalam indera pendengarannya.
"Assalamualaikum, Taufan."
"Waalaikumsalam."
Dia adalah Adiba, sepupu Taufan yang pernah mencibir keinginan Taufan untuk menjadi dokter.
"Ngapain ke sini?" tanya Taufan dengan nada suara yang lemas.
Adiba duduk di kursi yang ada di samping ranjang UKS. Ia menatap Taufan dengan tatapan penuh prihatin yang memuakkan bagi Taufan.
"Kasihan banget, sebentar lagi Tante Retno bakal dateng tapi anaknya malah sakit begini."
Adiba menaruh plastik kecil berisi obat-obatan milik Taufan.
"Kok lo yang nganterin obat? Kenapa bukan santri putra atau Ustaz? Atau siapa gitu, kenapa lo?"
Gadis berkerudung putih itu tertawa kecil yang membuat Taufan jengkel. Semua yang dilakukan Adiba selalu membuat Taufan naik pitam. Sejak awal memang Taufan dan Adiba tidak begitu akur, tetapi setelah Adiba meremehkan cita-cita Taufan, maka Taufan semakin tidak menyukai Adiba.
"Gue sengaja menawarkan diri buat anterin obat buat lo, karena gue mau ngomong sama lo."
"Ngomong apa?"
"Lo yakin mau jadi dokter? Secara lo aja penyakitan begini, gimana mau kuat sibuk di rumah sakit, sih?"
Taufan hanya diam mendengarkan Adiba mengoceh hal-hal yang menyebalkan.
"Gue bukannya nganggep lo remeh, gue tau lo pinter matematika, biologi, fisika, intinya lo sempurna dalam akademik. Tapi, jujur gue khawatir sama lo."
Taufan menaikkan satu alisnya.
"Khawatir? Buat apa?" tanya Taufan dengan rasa penasaran yang tinggi.
"Liat sekarang, ini pasti karena lo begadang buat belajar, kan? Gimana nanti pas kuliah, lo bakal lebih sibuk dari ini."
Taufan mulai merasakan sisi khawatir yang serius dari Adiba, bukan hanya sekadar mencibir dan membuat Taufan kesal, tapi Adiba benar-benar khawatir.
"Gue serius, Fan. Mungkin lo bakal nganggep gue nyebelin dan ngatur, tapi gue cuma khawatir aja sama lo. Walaupun gue suka ngajak lo berantem, tapi gue tetep keluarga lo yang peduli sama lo."
Omongan Adiba mungkin benar, tapi Taufan harus mempertahankan tekatnya untuk menjadi dokter.
"Tapi ini cita-cita gue, Diba. Gue pengen bisa ngobatin orang-orang yang sama kondisinya kayak gue. Gue paham maksud lo, makasih udah care sama gue. Tapi, gue gak akan nyerah gitu aja."
Adiba menghela nafas berat.
"Ya udah kalau begitu, gue cuma mau ngungkapin kekhawatiran gue aja ke lo. Kalau gitu, good luck!"
"Makasih, lo juga semangat olimpiade fisikanya."
"Makasih. Gue pergi dulu, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimpi Kalangan Bawah.
Teen Fiction"KITA JUGA PUNYA CITA-CITA!" Hidup memang tidak selalu berpihak pada kita. Kekayaan dan privilege menjadi salah satu senjata bagi orang-orang menggapai impiannya. Lalu, jika ada yang tidak memiliki itu semua, apa akan tetap bisa menggapai impiannya...