Sunyi, sepi, dan dingin. Malam hari ini mendung dan angin bertiup cukup kencang. Di teras masjid, ada Yudha yang sedang memandangi selembar kertas berisi daftar kebutuhan yang sudah habis. Yudha bergantian menatap kertas dan juga dompetnya yang hanya berisi 50 ribu saja.
Yudha menghela nafas berat. Sudah lewat satu Minggu tapi orang tua Yudha belum mengirim kebutuhan atau uang kepadanya. Dia sangat mengerti jika keluarganya mungkin sedang tidak ada uang, Yudha tidak pernah protes. Yudha sudah terbiasa mengalami kejadian seperti ini.
"Ini harus gimana? Hutang beli sabun sama Ndaru aja belum lunas, sekarang sepatu buat latihan udah mau rusak."
Yudha menutup dompetnya dan memasukannya ke dalam kantung celana. Yudha melamun di sana sembari menatap bintang-bintang di langit.
"Mending gak usah masuk pesantren, harusnya gue bantu Bapak aja di rumah jualan bakso."
Ada sedikit penyesalan di dalam diri Yudha karena telah menerima beasiswa masuk pesantren. Dia merasa bersalah karena merepotkan kedua orang tuanya terus.
"Mana seleksi udah deket, bisa jebol pas seleksi."
Yudha mengacak-acak rambutnya, kepalanya penuh dan berisik, rasa bersalah dan kesal menjadi satu. Ia ingin marah, tapi pada siapa? Baginya dia yang salah sekarang.
"Gue kok gak tau diri banget, tadi gak usah masuk pesantren! Bapak sama Ibu gak akan susah cari duit tambahan buat gue. Bapak gak akan marah-marah mulu di rumah karena kurang duit, dan Ibu gak akan ditampar mulu sama Bapak."
Yudha terus mengacak-acak rambutnya dan sesekali memukul kepalanya untuk menghilangkan bising di kepalanya.
"Yudha! Astaghfirullah!"
Seseorang berlari menghampiri Yudha dan menahan kedua tangan Yudha yang memukuli kepalanya sendiri.
"Lo kenapa? Ayo istighfar. Lo kenapa, Yudha?"
Yang menghampiri Yudha adalah santri dari kamar yang tepat di samping kamar Yudha. Dia adalah Heru, laki-laki bertubuh cukup pendek dan berwajah seperti kelinci.
"Gak apa-apa. Gue mau ke kamar."
Yudha hendak berdiri, namun Heru menahan tubuh Yudha agar tetap duduk dan berbicara dengannya.
"Tadi lo pukul-pukul kepala sendiri, bahaya tau gak! Kalau luka terus gegar otak gimana?"
Respons Yudha hanya diam saja, bicara saja sudah tidak sanggup rasanya, ia takut membentak-bentak Heru yang tidak ada salah apa-apa.
Heru berpindah tempat menjadi duduk di samping Yudha dan merangkul Yudha. Heru menepuk-nepuk pundak Yudha untuk memberikan dukungan.
"Kenapa, sih? Sakit kepalanya?"
Yudha menganggukkan kepalanya.
"Iya, pusing."
"Ya udah minum obat, bukan dipukulin gitu, malah makin sakit."
Yudha menganggukkan kepalanya saja. Rasanya Yudha tidak sanggup berbicara lagi, dia mau menangis tapi malu karena baginya menangis adalah menunjukkan kelemahan. Yudha selalu menahan air mata, meski di depan orang atau tidak.
"Ya udah sana ke kamar, nanti makin pusing kepalanya."
Yudha berdiri dan menatap Heru yang juga ikut berdiri.
"Gue duluan, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, hati-hati, ya."
Yudha dan Heru berjalan menuju arah yang berbeda. Yudha berjalan keluar dari area masjid sedangkan Heru berjalan ke dalam masjid karena dia mau melakukan murojaah sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mimpi Kalangan Bawah.
Teen Fiction"KITA JUGA PUNYA CITA-CITA!" Hidup memang tidak selalu berpihak pada kita. Kekayaan dan privilege menjadi salah satu senjata bagi orang-orang menggapai impiannya. Lalu, jika ada yang tidak memiliki itu semua, apa akan tetap bisa menggapai impiannya...