٢

72 23 4
                                        

Keesokan harinya Taufan benar-benar marah dengan teman-temannya karena kejadian semalam. Ia lebih memilih mendahului teman-temannya menuju kantin untuk makan. Ketiga temannya membiarkan Taufan menuntaskan amarahnya.

"Kebiasaan banget si Oksigen, apa-apa ngambek," kata Yudha sembari mengikat sepatu.

"Dia kalau dibilangin gak pernah nurut, itu yang bikin gue agak kesel sama dia," balas Edwin dengan raut wajah tidak senang.

Ndaru mengangguk setuju, "Iya, tapi kita nasehatin aja dia, kalau gak nurut juga, gue hantam aja kepalanya."

Yudha berdiri lalu tersenyum senang.

"Yakin? Lo lakuin, ya, kalau dia gak nurut."

Ndaru terdiam, tetapi selanjutnya ia mengangguk.

Edwin langsung mengambil batu besar yang berada di sekitar situ. Ia memberikan batu tersebut kepada Ndaru dengan senyuman tengil.

"Gak usah pake batu juga, Kucing." Ndaru mengambil batu tersebut lalu melempar batu itu ke sembarang tempat.

Mereka bertiga langsung berjalan menuju kantin.

Sesampainya di kantin, mereka melihat Taufan yang duduk sendirian sembari memakan makanannya. Mereka mengambil makanan lalu menyusul Taufan dan langsung duduk di tempat yang sama dengan Taufan.

"Enak banget menu hari ini, ya," kata Yudha memecah keheningan.

Edwin yang sedang mengunyah makanan langsung menatap Yudha dengan tatapan malas.

"Ini menu yang biasanya kita makan, gak usah sok menikmati begitu, deh."

Taufan mempercepat makannya.

"Gak usah buru-buru, nanti mejanya ketelen," tegur Ndaru yang duduk di hadapan Taufan.

"Kok mejanya?" tanya Edwin.

"Kalau sendok atau piringnya yang ketelen udah biasa."

Edwin menepuk dahinya, kedua temannya memang tidak ada yang benar-benar normal dan kalem seperti teman-teman orang lain.

Ndaru menelan makanannya lalu berdehem dan menatap Taufan yang masih makan dengan cepat.

"Taufan, kok kita dicuekin? Masih ngambek masalah semalem?"

Yang ditanya tidak menjawab sedikitpun.

Yudha hendak berbicara, tapi Ndaru melarang Yudha berbicara, bahkan Edwin juga.

"Mau dengerin gue gak?" tanya Ndaru kepada Taufan.

Taufan menatap Ndaru dengan tatapan tajam.

"Emang belajar salah, ya?"

Ndaru menggelengkan kepalanya lalu berkata, "Gak ada yang salah dari belajar, tapi sebaiknya tahu waktu dan jangan berlebihan dalam belajar. Emang lo mau jadi stres gara-gara belajar?"

Bibir Taufan cemberut, ia berhenti makan dan hendak pergi, tetapi Ndaru menahan tangan Taufan agar tidak pergi.

"Gue belum selesai ngomong sama lo. Duduk!"

Taufan menepis tangan Ndaru.

"Gue sibuk, gue gak ada waktu buat dengerin lo."

Kesabaran Ndaru sudah habis. Ia menatap Yudha dan Edwin yang sedang memakan makanan mereka masing-masing. Saking seringnya kejadian seperti ini terjadi dalam pertemanan mereka, semua yang terjadi menjadi santai.

"Gue lakuin, ya?"

"Iya, Demit."

Ndaru melepas peci yang dikenakan Taufan lalu memukul kepala Taufan menggunakan peci tersebut sampai mengeluarkan bunyi.

Mimpi Kalangan Bawah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang