1. Apa itu Cinta?

83 27 28
                                    

Bodoh rasanya ketika mempercai bahwa cinta itu segalanya. Aku memang pada dasarnya tidak tahu apa itu cinta. Sampai saat ini pun aku masih bertanya-tanya. Tapi berada di antara orang-orang yang di butakan oleh cinta bukanlah pilihanku, aku menganggapnya takdir karena harusku terima.

Putri temanku sekarang sedang senyum-senyum sendiri di hadapanku hanya karena dirinya mendapatkan coklat yang harganya gak seberapa dan bisa di dapatkan di kantin sekolah. Padahal baru dua hari yang lalu dirinya curhat padaku sedang patah hati karena Rian si cowok yang merasa dirinya paling laku. Dan sekarang Putri menerima maaf dari Rian. Sejujurnya aku bukan tidak ingin menyarankan yang terbaik bagi Putri, temanku sendiri untuk menjauhi Rian, tapi jika aku memberinya saranpun akan percuma karena aku tidak akan di dengar.

"Lo nerima maaf gitu aja dari Rian?" nada ku memang terdengar ketus. "abis dia sweet banget tadi!" nada bicara Putri membuatku merinding geli. Ku putar bola mata dan mendiamkannya sampai bel pulang sekolah.

"oke gue tau lo gak setuju atas keputusan gue nerima maaf Rian, tapi lo kan temen gue, harusnya lo setuju sama apapun tindakan yang gue ambil" pernyataan Putri membuatku sangat jengkel. "Justru karena lo temen gue. Gue marah sama lo karena lo ngambil keputusan yang salah dan lo juga pasti tau dari awal kalo gue GAK SE-TU-JU" dengan berapi api kutekankan kata terakhir. Putri memutar bola matanya" oke, gue tau lo" tak lama Putri pergi begitu saja meninggalkanku di depan gerbang sekolah. 'gue tau lo' aku mengerti kalimatnya. Walaupun aku marah dengan temanku sendiri aku akan kembali luluh pada esok harinya. Bukan karena mudah lupa, tapi justru karena aku takut temanku mengambil kesimpulan bahwa aku membencinya atas keputusannya.

30 menit aku berdiri di depan gerbang sekolah. Terus ku lihat sekitar. Setiap kali terdengar suara mesin motor, aku trus berharap itu adalah mesin motor abangku. Lama menunggu. Kusambar handphone dalam tas.

Dengan kesal ku telfon manusia paling menyebalkan ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dengan kesal ku telfon manusia paling menyebalkan ini. "LO TAU GAK SIH, GUE NUNGGU LO SETENGAH JAM!!" tak peduli orang di sekitarku melihatku menelfon sambil berteriak. "Kalo ngomong biasa aja cerewet, sakit kuping gue" "GUE GAK MAU TAU JEMPUT GUE!!" "Iya, iya bawel, kalo bukan karena papah nyuruh gue anter jemput lo sudi amat gue" pembicaraan langsung kuakhiri dengan menutup telfon duluan.

Kalau bukan karena papah menyuruhku untuk pulang di jemput abang, aku sudah pesan ojek online untuk mengantarku pulang. Buat apa menunggu yang tidak pasti? Tapi aku masih saja tetap menunggu dia.

Suara mesin motor sudah bisa kudengar, dan langsungku deteksi bahwa itu adalah suara mesin motor om ku. Benar saja Kevin meminjam moge milik om Hendra hanya untuk menunjukkan sok kegantengannya di hadapan cewek-cewek sekolah ku.

"Lama banget sih!, Asal lo tau ya gue nunggu lo satu jam lebih tiga puluh menit!" "gue tau, lagian ngapain nungguin gue?, Gak ada uang ongkos ya" ku putar bola mata dengan kesal. "nih pake" Kevin menyodorkan helm hitam yang entah sudah berapa tahun di kenakannya. "helm biasa gue mana?" "ada di rumah" "loh kenapa bawa helm buluk gini?" "lagian helm lo pink, gak maskulin, masa gue naik motor gagah gini bawa helm pink norak" terpaksa ku pakai helm bau keringat yang ku tahan sebisa mungkin. "sok kegantengan banget sih lo" "udah bawel gak usah banyak komen".

Sesampainya di rumah langsung ku buka helm dan kuhirup udara segar tanpa bau ketombe basah dan keringat yang membuatku sesak napas selama di jalan. "mana helm gue balikin" Kevin menagih helmnya dengan paksa. "Ganti tu helm bau" "banyak proteslu, lagian gue gak bakal pake ni helm lagi, tuh liat udah kutuan gara gara di pake lo" jari kevin menunjuk ke bagian dalam helm bau itu. "sembarangan, gue gak kutuan"

Kevin memutar bola matanya. Aku bergegas naik menuju kamar, sudah tidak tahan dengan tingkah laku abang sendiri. Sesampainya di kamar aku langsung keramas sebagai upaya menghilangkan bau apek dari rambutku.

" Keysha mau makan gak? Nggak ya udah!" tanya abang yang menjawab pertanyaannya sendiri tanpa menuggu jawabanku, yang sedang mengeringkan rambut. "iya bentar".

"Mama!" ku hampiri dan kusambut mamah di meja makan. "piama norak" celetuk abang mengomentari piama bebek biru yang ku kenakan. "banyak komen lu". "Udah, udah, ayo makan"ujar mama menengahi.
kami makan bersama tanpa papa karena papa sedang di luar kota.

✯✯✯✯✯✯

"KEYSHA, KEYSHA, bangun sayang, Keysha!" seru mama dengan nada panik mencoba membangunkanku di tengah malam. "Apa mah?" ujarku dengan lesu selesu tubuhku sekarang "tolong bangunkan abangmu, mama dapat kabar papa kecelakaan" mendengar apa yang mama sampaikan dengan nada yang panik, nyawaku langsung terkumpul. Aku menganggukkan kepala, beranjak dari tempat ditur, keluar kamar, lalu masuk kamar abang, "abang, abang bangaunnn!" kucoba membangunkan manusia yang seolah mati ini. "abang, abang!" Aku terus berusaha mengguncang tubuhnya walau tak menghasilkan respons apapun. "ABANG!" aku berteriak tepat di telinganya. Percuma. Ia kini seolah menjadi orang mati di atas tempat tidurnya.
Mama datang ketika mendengarku berteriak, "Kenapa key?" "abang susah di bangunin" keluhku sambil menunjuknya dengan jari telunjukku. "Yaudah mamah aja yang bangunin, kamu tolong telfon om Hendra" mama menyodorkan pnselnya padaku. aku bisa mendengarkan suara mama panik, nafasnya tidak beraturan, bibirnya pucat. Lantas aku segera menelefon om Hendra.
"Halo om, Ini Keysha yang telfon. Mama baru dapet kabar kalo Papa kecelakaan" "astaghfirullah, tengah malem begini!?" "iya om, ini mamah minta om kesini" "om kesana sekarang". Rumah om Hendra tidak jauh, hanya terhalang 3 rumah, Om Hendra tinggal dengan istrinya Tante Hilda.
Tak lama kudengar ketukan pintu rumah. Aku bergegas membukakan pintu rumah. "Mama kamu mana?" tanya om Hendra dengan mata yang menerawang ruang tamu " didalem" om hendra bergegas melangkahkan kakinya masuk. "Suci!" seru om Hendra memanggil mama.
"Kak, Mas Danar kecelakaan kal!" ujar mama dan langsung memeluk erat om Hendra. Om Hendra adalah kakak mama. Terkadang ketika aku melihat mereka berdua bercanda bersama rasanya seperti memandang diriku sendiri dengan abang.
"Danar sekarang gimana?" "tadi Suci di telfon pihak rumah sakit, Mas Danar kecelakaan di jalan pulang" "kita ke rumaha sakit, tapi anak anak gak bisa ikut, tau sendiri kan aku Cuma ada motor" mama menganggukan kepalanya tanda setuju. "aku kabarin Hilda dulu" mama bergegas bersiap mengenakan jaket dan helm. "Kevin titip adek kamu yah, jangan lupa sholat, doain papa" ku kecup tangan mama " hati hati ya mah".
Aku memandang Om Hendra pergi dengan motornya bersama mama di tengah gelapnya malam. Tak lama rintik hujan turun, menemani rasa takut ku di tengah dinginnya malam. "Tutup pintunya, sini masuk di luar dingin" Aku bisa mendengar suara abang seolah tertahan. Suaranya lirih. Aku pun masuk dan menutup pintu. "Papa" entah apa yang mau ku ucapkan.
"abang ingetkan? Waktu kita masih kecil kakek kecelakaan di jalan pulang dari Bandung. Dan kakek ninggalin kita selamanya dengan janji kalo kita bakal ke bioskop bareng-bareng. Aku takut Papa.." suaraku melirih. "jangan mikir yang enggak-enggak" air mata mengalir begitu saja dari mataku. Aku mata yang diiringi dengan rasa takut kehilangan lagi. Air mata takut hal yang terjadi pada kakek akan terjadi pada papa. Air mata takut kehilangan orang yang sangat ku sayangi.
Abang menghampiriku, memegang tanganku, lantas memelukku. Bisa ku rasa ia menangis dan meneteskan air matanya ke kepalaku. Aku terlalu pendek untuk di peluknya. Dan dia terlalu bau untukku peluk. Aku pun kini menagis dalam pelukkannya. Aku tahu bahwa papa adalah orang yang sangat berarti bagi abang. Papa yang mengajarkan abang segala hal saat mama masih berjuang menyelesaikan kuliahnya.

✩₊˚.⋆☾⋆⁺₊✧

Maaf ya typo dimana mana!

Lanjut nihhh?!

Ditunggu yaa (⁠•⁠‿⁠•⁠)

KEYSHA [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang