BAGIAN 3

9 2 0
                                    

Hujan turun begitu derasnya, sampai malam hari pun langit tetap menangis. Pagi harinya tanah begitu basah, pohon dan rumput tampak segar. Cahaya matahari terpantul dari kubangan air. Pagi buta kendaraan sudah lalu lalang di jalan.

Beralih pandang, sebuah kepompong bergerak dengan tidak tenang, terlihat didalam sana sebuah sayap malu-malu keluar. Kupu-kupu cantik berwarna kuning perlahan-lahan mengepakkan sayap dengan pelan, lalu terbang. Nirre memperhatikan proses metamorfosis itu sambil berjongkok di pinggir jalan. Gadis itu tampak cukup terpukau melihatnya. Sampai suara mesin mobil berbunyi keras keluar dari pagar kayu rumahnya. Kupu-kupu yang tadinya bertengger di ranting bunga buru-buru pergi karena kaget.

"Masuklah Nirre."

Seruan dari dalam mobil membuat Nirre menyudahi penyelidikan, ia bangkit lalu berjalan kearah mobil. Membuka pintu belakang lalu duduk begitu saja.

"Hey, aku bukan supir. Duduklah dibangku depan." Nirre menatap jengah. Wanita yang ada didepan bangku kemudi itu adalah Delila, adik dari ibunya.

Sejujurnya Nirre tidak suka dengan dia. Delila bukan orang tua Nirre. Wanita itu hanya mendapatkan hak asuh saja semenjak ibu Nirre meninggal delapan bulan yang lalu. Nirre awalnya mengira kalau nenek atau kakeknya yang akan mengasuh dia, tapi diluar dugaan Delila sekarang menjadi wali untuk Nirre.

"Tidak mau," balas Nirre acuh tak acuh.

Delila menarik napas pelan, menghadapi remaja puber memang melelahkan. Dia mengalah, "kenakan sabuk pengaman."

Wanita itu kembali ke posisi mengemudi. memutar kunci, menghidupkan mobil merah yang tampak jadul keluaran tahun 80an. Suara kenalpot mobil cukup kasar ditelinga, beberapa asap mengepul keluar dari sana. Entah sudah berapa lama mobil itu absen dari bengkel, yang pasti sebuah kebetulan mobil itu tidak rusak-rusak. Setelah merasa siap Delila mulai menginjak pedal gas, mobil buntut kesayangannya pun mulai bergerak mengikuti intonasi jalan raya yang cukup padat di pagi hari.

Selama diperjalanan Nirre hanya menatap keluar jendela, mengamati bangunan-bangunan yang mereka lewati. Hari ini Nirre tidak bisa mengendarai sepeda, kakinya masih bengkak.

"Kau pulang jam berapa?" Memecahkan keheningan, Delila bertanya dari balik kemudi depan sembari membolak-balik lebaran buku, wanita itu terlihat sedang memeriksa sesuatu disana.

Saat ini mobil mereka sedang berhenti di lampu merah. Diujung jalan terlihat anak-anak dari taman kanak-kanak bergandengan menyebrang jalan dibantu oleh guru pembimbing mereka. Irit-iritan itu cukup menyita waktu.

"jam tiga." Nirre tidak mau repot-repot mengalihkan perhatiannya dari jendela luar.

"Loh, jam tiga?" Delila kembali membaca lembaran kertas ditangannya, memeriksa jadwal yang tertera disana dengan cermat, "baiklah, aku bisa menjemput mu kemungkinan jam empat lewat sedikit. Menunggu satu jam tidak apakan?"

Wajah Nirre yang tadinya biasa-biasa saja kini berubah menekuk, kerutan tak setuju tampak jelas di keningnya. "Satu jam, kau ingin aku lumutan disana?"

"Aku ada rapat nanti." Delila menutup catatan, lampu merah sekarang telah menjadi hijau. Wanita itu kembali menjalankan mobilnya, "akan ku usahakan selesai sebelum jam empat, oke? Tidak lama kok."

Wajah Nirre semakin masam, "tidak mau." Dengan tegas ia menolong tawaran itu.

Tapi bagi Delila pemberontak kecil itu tidak akan berarti apa-apa. "Terserah, yang punya mobil adalah aku. Jadi terserah aku kapan harus menjemput."

Nirre berdecak kesal, berdebat dengan orang seperti Delila tidak akan menghasilkan apapun. Bahkan sampai dunia berakhir pun Delila tidak akan pernah mengaku kalah dari Nirre.

Selama perjalanan hanya ada keheningan, suara radio mobil mengalunkan lagu jadul yang tidak pernah membuat Nirre terbiasa mendengarnya.

Tidak ada dari Delila yang Nirre sukai.

Bagi Nirre selera Delila itu buruk, mulai dari genre Lagu sampai style pakaian yang wanita itu gunakan. Nirre Sangat tidak suka. Delila senang sekali mengenakan lipstik hitam dengan banyak tindik ditelinga, dia juga selalu berpakaian sobek-sobek dengan rantai di roknya. Orang-orang yang bertemu Delila akan mengira kalau wanita itu adalah preman atau anggota geng jalanan. Kantung mata yang menghitam dan wajah cekung adalah gambaran Delila, Wanita tiga puluh tahun yang entah bagaimana tetap melajang sampai sekarang.

Nirre buru-buru memalingkan wajah ketika sepasang mata menatapnya juga dari kaca depan kemudi. Tampaknya Nirre masih marah dengan Delila. Menyadari situasi, wanita itu kembali membuka percakapan.

"Kau ingin makan apa malam nanti?"

Itu pertanyaan yang terdengar aneh ditelinga Nirre, gadis itu mengangkat alisnya dengan tangan terlipat di dada, "kenapa bertanya? kau saja tidak bisa masak."

Mendapatkan sindiran dari gadis itu secara langsung hampir saja membuat harga diri seorang Delila jatuh. Tapi jika boleh jujur Delila memang tidak bisa masak dan kelemahan itu tampaknya belum bisa ia perbaiki, karena itulah sehari-hari mereka hanya membeli makanan dari luar.

"Yasudah kalau tidak–"

"Sup daging." Nirre memotong perkataan Delila cepat-cepat sebelum wanita itu berubah pikiran.

"Tidak, hari ini aku ingin makan ayam goreng."

Lagi-lagi Nirre berdecak tidak suka, tapaknya Delila benar-benar bisa membuat Nirre kesal. Kenapa harus repot-repot menawarinya kalau dia sendiri yang pada akhirnya memutuskan. Delila hanya senyam-senyum sendiri terlihat jelas wajah puas setelah melakukan aksinya itu, dia sama sekali tidak terganggu dengan tatapan jengkel keponakannya.

Tidak sampai setengah jam, mobil itu akhirnya sampai di pintu gerbang sekolah Nirre. Gadis itu buru-buru melepaskan sabuk pengaman bahkan belum selesai Delila mematikan mesin mobil, Nirre sudah keluar duluan dengan menutup pintu mobil kuat-kuat dan berjalan dengan langkah lebar. Delila yang melihat itu buru-buru turun sembari berteriak.

"Hey Nirre, kau melupakan tongkat bantu mu!"

Gadis itu berhenti. Anak-anak lain yang juga baru datang ikut menoleh karena Delila. Nirre berbalik, ubun-ubun gadis itu memerah sekarang, wajahnya hampir seperti udang rebus yang baru keluar dari panci. Jika bukan karena kakinya yang kesulitan berjalan dia tidak akan mau repot-repot menghampiri Delila.

"Ini ambilah." Delila tersenyum dengan lebar, lalu menyerahkan tongkat bantu itu pada Nirre, "tunggu sebentar."

Dia mengambil sesuatu didalam kantong celana lalu memberikan pada Nirre. "Bagikan dengan teman-teman mu juga."

Setelah itu Delila kembali masuk kedalam mobil, tanpa rasa bersalah dia melambaikan tangan dan pergi begitu saja menuju kantornya. Mobil merah itu kian jauh dari pandangan. Nirre menatap benda yang diberikan Delila barusan. Bukan permen apalagi uang, wanita itu memberikan kertas-kertas promosi dari perusahaan tempatnya bekerja.

"Dasar wanita gila, "dengan kesal Nirre memasukkan kertas itu kedalam tas dan lekas melanjutkan perjalan yang sempat tertunda tadi. Seburuk apapun hari ini Nirre harus tetap menghadiri kelas, karena jam pertama hari ini adalah matematika yang diajarkan oleh Pak Sokke. Guru itu terbilang cukup selektif soal nilai, lembar kehadiran yang kosong sekali saja bisa mempengaruhi angka di raport.

Sekarang gadis itu menghadapi masalah baru, kakinya masih sakit bagaimana dia bisa menaikkan tangan menuju kelasnya. Kebetulan kelas Nirre ada di lantai dua. Gadis itu berdiam diri sembari menggaruk tengkuknya dengan sebal, kenapa juga kelasnya harus dilantai dua.

"Mau aku bantu?"


MUSIM SEMI YANG BERLALUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang