Nirre menatap pantulan dirinya dicermin, ia mengamati dengan seksama sembari meletakkan tangan di pinggang, kerutan di keningnya bertambah ketika rambut hitamnya menutupi setengah dari pandangan, gadis itu beralih mengambil gunting yang ada di mejanya dan menggunting poni yang menggangu pengelihatannya.
Sekarang tampilan dirinya sudah bisa ia lihat dengan jelas di cermin.
Nirre memiliki mata coklat yang tidak menarik sama sekali, rambut hitamnya dipotong sebahu dan dibiarkan tergerai begitu saja, seragam sekolah yang ia kenakan juga kebesaran ditubuhnya. Nirre terlihat seperti siswa biasa, bahkan bisa di bilang dia biasa-biasa saja.
Setelah puas dengan cermin, Nirre meraih tasnya dan lekas turun kebawah, ketika turun dia berpapasan dengan Delila yang baru keluar dari kamar tidurnya. Wanita tiga puluh tahun itu menguap dengan lebar sambil menggaruk kepalanya dengan lusuh. Nirre berjalan melewatinya begitu saja.
Delila mengerutkan keningnya. "kau sudah mau pergi pagi-pagi begini?" Sejak kapan anak itu menjadi rajin pikir Delila.
"Mau ku antar?" Lanjutannya.
Nirre menoleh sekilas kearah Delila, lalu melanjutkan memasang sepatu.
"Tidak aku bisa sendiri."
Delila berjalan kearah dapur mengambil minuman bersoda yang ada di kulkas dan meminumnya, setelah itu dia berjalan menghampiri Nirre yang sekarang sudah siap dengan sepedanya.
"Memangnya kakimu tidak sakit lagi?"
"Tidak."
Mungkin sudah berlalu empat hari dari kejadian senam lantai yang membuat kakinya cidera, walaupun kakinya memang belum benar-benar sembuh tapi jika hanya menyahut sepeda Nirre rasa dia masih sanggup.
Lagian dia tidak mau diantar oleh Delila lagi, Bisa-bisa rumor tentang dirinya yang diantar preman semakin menjadi jadi. Yah walaupun itu juga tidak terlalu salah sih, toh Delila memang terlihat seperti preman. Seharusnya mereka yang bilang seperti itu harus melihat tampilan Delila baru bangun tidur, dari pada dibilang preman tampilannya lebih mirip seperti orang yang tidak tidur tiga hari.
Setelah berpamitan Nirre mengayuh pedal sepedanya menuju sekolah, jarak sekolah Nirre dan rumahnya tidak terlalu jauh tapi akan sangat memakan waktu jika Nirre harus berjalan kaki.
Udara pagi hari begitu segar menerpa kulit wajah Nirre, gadis itu suka dengan suasana ini. Jalan kota yang masih berembun dan daun-daunan hijau di musim semi, seperti ini akan menjadi bagian favorit Nirre. Yah, pergi ke sekolah pagi-pagi tampaknya cukup bagus.
Nirre memarkirkan sepedanya di halaman sekolah, ditempat parkir yang memang di sediakan disana, disini anak-anak dibawah umur seperti mereka belum boleh mengendarai motor apalagi mobil, alhasil sebagai besar siswa disini akan memilih bersepeda dan mengunakan transportasi umum jika jarak rumahnya cukup jauh. Atau mungkin memiliki opsi lain seperti diantar jemput.
Setelah selesai memasang gembok di sepedanya, Nirre kembali berjalan menuju kelas. Sekolah masih sepi, lorong kelas hanya ada beberapa siswa yang berjalan. Jika seperti biasa seharusnya sudah ramai berkerumun.
Bahkan saat sampai di kelas, Nirre adalah orang pertama yang tiba disana.Ini pencapaian yang besar untuk Nirre.
Gadis itu meletakkan bokongnya di bangku, mengeluarkan buku dan juga pena. Dia peregangan sebentar sebelum mulai menulis disana. Apakah Nirre tengah belajar? Tidak, tujuan Nirre datang pagi-pagi ke sekolah karena dia lupa mengerjakannya pekerjaan rumah. Bahkan dia baru ingat ketika pagi tadi. Jika dia tidak menyelesaikan tugas ini maka akan dipastikan dia akan kembali masuk ruang guru lagi.
Suara langkah kaki menyita perhatiannya, tampak Nirre tidak sendiri yang datang sepagi ini. Langkah kaki itu mulai mendekat, seorang anak laki-laki dengan jiket biru bergaris putih masuk kedalam kelas.
Tatap mereka bertemu sekilas, Nirre buru-buru mengalihkan pandangan. Tampaknya anak laki-laki itu sama kagetnya dengan Nirre.
Anak laki-laki itu duduk di bangku belakang, jika Nirre duduk di pojok dekat dengan jendela, maka anak laki-laki itu duduk dipojok sudut dekat pintu keluar.
Anak laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tas, sebuah buku lalu mulai mengerjakan sesuatu disana, jika kalian pikir anak laki-laki itu tengah mengerjakan pekerja rumah seperti yang Nirre kerjakan, maka itu salah besar.
Anak laki-laki itu Haz, Hazza Shaka dia adalah anak jenius kebanggaan guru. Jika ketua kelas adalah orang yang banyak disukai karena ramah maka Haz adalah orang yang paling menarik perhatian kelas.
Awal masuk sama seperti Nirre, anak yang tidak suka bergaul dengan teman-teman yang lain. Nirre ingat betul saat hari pertama masuk, anak-anak kelas mengerumuni dirinya karena Hazza memiliki penampilan yang menarik. Namun, bukanya bersosialisasi dia malah membuat benteng tinggi-tinggi dengan mereka. Ketika jam istirahat dia menolak semua ajakan pergi ke kantin. Yah, Nirre angap dia dan Haz adalah sama, karena tidak menyukai keterlibatan dengan sosial. Tapi tampaknya Nirre terlalu meninggikan standar bagima dia bisa menyamakan diri dengan Haz yang jelas-jelas bagikan langit dan bumi.
"Huh pikiran PR mu Nirre. " Nirre kembali menepuk pipinya, mencoba mengalihkan fokus kembali pada tugasnya yang bahkan sejengkal pun belum terisi.
Lupakan saja tentang semunya, lagipula Nirre percaya kejeniusan itu tidak akan datang padanya.
Vote and komen
KAMU SEDANG MEMBACA
MUSIM SEMI YANG BERLALU
Teen FictionMungkin setiap remaja memiliki masa muda, tapi tidak semua masa muda itu dipenuhi dengan warna. !! [DILARANG KERAS MENJIPLAK, MENGUTIP TANPA NAMA PENULIS, MENGAMBIL SEBAGIAN ATAU SELURUH ISI, MENGUBAH SEBAGIAN ATAU SELURUH ISI, BAHKAN PLAGIAT DALAM...