"Mau aku bantu?"
Nirre menatap sesosok asing yang bahkan tidak pernah Nirre duga akan berbicara dengan nya. Anak laki-laki dengan senyum formal itu tampaknya baru sampai juga sama seperti Nirre.
Tangan Nirre mengangkat Tongkat bantunya, dengan wajah standar yang biasa Nirre tujukan ia menatap Anak laki-laki itu kemudian berbicara dengan ketus. "Tidak usah."
Mungkin harga diri Nirre lebih besar dari pada rasa sakit dikakinya, dengan susah payah kaki diperban itu menaiki satu persatu anak tangga, sementara tangan satunya berpegang pada pegangan.
Anak laki-laki tadi adalah ketua kelas.
Nirre dapat melihat wajah menekuk ketika dia ditolak mentah-mentah. Yah, mungkin dia pikir menolong Nirre adalah bagian dari tugasnya sebagai ketua kelas.
Nirre tidak akrab dengan satu pun teman sekelasnya, tapi Nirre cukup tahu siapa ketua kelas, dia anak yang paling disukai satu kelas, dia ramah, guru-guru pun memuji sikapnya itu. Seperti yang diharapkan dari seorang siswa teladan yang rajin, hanya saja Nirre tidak akan pernah mengerti jalan pikiran orang-orang seperti ketua kelas ini, mereka terlalu baik dan kebaikan mereka tampak dibuat-buat.
Apalagi sekarang.
Nirre menoleh kebelakang, gadis itu masih di tangga, dia baru menyelesaikan setengah jalan, karena kakinya yang sakit membuat dia jadi benar-benar lambat untuk menaiki anak tangga. Beberapa kali ia berpapasan dengan siswa lain yang juga melewati tangga.
Tapi apa sekarang?
Ketua kelas itu masih menunggu di belakang Nirre padahal dia bisa mendahului Nirre. Ketika ketua kelas itu menyadari Nirre yang menoleh kearahnya dia kembali memasang senyum formal andalannya.
Bukanya senang apalagi terpesona, Nirre malah menyipitkan mata dengan tidak suka, seolah berbicara dari tatapan matanya 'kenapa kau dibelakang ku' dan yah lagi-lagi hanya senyum yang diberikan si ketua kelas.
Baiklah, Nirre mengabaikannya dan kembali melangkah. Ketua kelas menyebalkan itu juga masih mengikuti Nirre dari belakang sampai mereka masuk kedalam kelas.
Nirre memendamkan wajahnya dimeja ketika sampai disana. Kakinya berdenyut sakit, seperti perban yang dikenakannya sama sekali tidak membantu Nirre sama sekali.
Kelas telah ramai, murid-murid lain sudah masuk dan tentu saja suasana kelas begitu berisik, anak-anak lain tampak sangat sibuk dengan cerita mereka, entah apa yang mereka bicarakan yang jelas Nirre tidak ikut dalam simfoni menganggu yang di ciptakan mereka.
Kelas yang ramai tiba-tiba sepi, anak-anak yang tadi berkerumun kini kembali duduk ke bangku mereka kembali. Nirre mengangkat kepalanya dengan engga, tentu saja jika kelas hening secara tiba-tiba seperti ini itu artinya Guru sebentar lagi masuk, dan benar saja. Pak sokke datang dengan tumpukan kertas yang telah dikoreksi.
"Bagikan ini." Pak setiono berbicara dengan ketua kelas, anak laki-laki itu mengangguk dan bangkit dari bangkunya.
Kemudian membagikan kertas itu satu per satu ke setiap meja, Saat kertas milik Nirre mendarat di depannya, Nirre sudah tidak bisa berharap banyak ketika melihat lingkaran merah besar memenuhi lembar ulangannya.
"Nilai mu jelek sekali." Ketua kelas mengomentari dengan wajah yang tanpa dosa lalu pergi memberikan kertas kepada yang lainnya.
Hembusan nafas panjang keluar dari bibir Nirre dia menunduk dengan tangan terkepal kuat. Nirre tahu, tidak usah anak itu bilang juga Nirre tahu kalau nilanya benar-benar hancur.
"Walaupun ini hanya ulangan harian tetap kalian tidak boleh meremehkan bobot nilanya." Pak Sokke kembali berbicara yang membuat Nirre mau tidak mau harus mengangkat kepalanya dan kembali memperhatikan, "nilai kalian masih banyak yang rendah, bahkan ada yang tidak bisa menjawab satu soal pun."
KAMU SEDANG MEMBACA
MUSIM SEMI YANG BERLALU
Teen FictionMungkin setiap remaja memiliki masa muda, tapi tidak semua masa muda itu dipenuhi dengan warna. !! [DILARANG KERAS MENJIPLAK, MENGUTIP TANPA NAMA PENULIS, MENGAMBIL SEBAGIAN ATAU SELURUH ISI, MENGUBAH SEBAGIAN ATAU SELURUH ISI, BAHKAN PLAGIAT DALAM...