* * *
KEDUA kakiku menjejak tanah berumput yang basah, sisa hujan semalam. Aroma yang dibawa sang pawana setelah hujan hangat tercium semerbak, aromaterapi yang mampu tenangkan hati siapa pun nan sedang terjebak.
Terjebak dalam kelindan memori hangat sekaligus menyakitkan adalah salah satunya.
Sang angin yang bertugas di pagi buta ini kembali berdesir, malu-malu terbangkan helai demi helai rambut para manusia yang sudah terjaga. Cuit burung gereja dari kejauhan menyapa rungu; mungkin mereka hendak mencari sarapan, atau sekadar bermain-main dengan pasangan. Deru suara kendaraan bermotor pun terdengar samar dari kejauhan. Mungkin milik para pedagang yang baru pulang berbelanja dari pasar swalayan, atau mereka yang hendak mencari cuan.
Ini pagi yang damai. Ini pagi yang permai.
Seharusnya, aku menyambut hari ini dengan senyuman secerah mekarnya bebungaan liar yang tumbuh subur di kanan-kiri jalan setapak ini, bukan dengan jejak air mata di pipi.Aku merasa mengkhianati pagi, sebab di sini, nampaknya hanya aku nan muram sendiri.
"Orang waras mana yang pergi ke makam jam setengah enam pagi?"
Aku tersentak. Jemalaku tertoleh, menangkap sosok seorang pemuda dengan buket bunga berukuran sedang di kuasa. Ia melangkah mendekat, sejemang kutatap sepatunya yang juga bernoda tanah basah.
"Tiap gue mampir ke sini, lo pasti ada. Apa lo gak pernah pulang?"
Aku memaksakan diri 'tuk tertawa, walau berat sekali rasanya. Atmosfer yang tiba-tiba berubah membuat ekspresi pemuda itu turut berubah. Mungkin, ia baru menyadari sembap wajah sosok di hadapannya.
"Lo ... selalu ke sini? Sejak hari itu?"
Angin kembali berdesir. Kini, embusnya terasa menggigit—dingin. Dwimanikku kini mengedar, lantas jatuh ke sebuah makam tepat di depan ujung kedua kaki. Kembali kubaca huruf demi huruf kaku yang terukir di nisan itu.
"Iya." Itu kata pertama yang keluar dari mulutku selain tawa palsu.
Ah, lagipula, tawa bukanlah kata, betul?
Kini, tatapanku kembali tertuju ke pemuda itu. Seulas senyum tipis kupaksa terbit, mencoba untuk menyesuaikan situasi dengan damainya pagi.
"Selalu."
━━━━━━━━━ BERSAMBUNG.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of Sharga
General Fiction[ TRIGGER WARNING: HARSH WORDS, VIOLENCE, EMOTIONAL & PHYSICAL ABUSE, SEXUAL ASSAULT, SELF-HARM, SUICIDE, TRAUMA, SEVERE DISEASE, ANGST. ] Sejak hari itu, ia tak lagi punya resolusi. Ia tak lagi punya tujuan. Di hari itu, ada sesuatu dalam dirinya y...