Bagian 3: (Masih) Marah

34 4 0
                                    

"GIMANA, Lon? Dimaafin?"

Pertanyaan Galih pagi itu tepat setelah ia menginjakkan kaki di ruang kelas dan berpapasan dengan Sharga yang hendak membuang sampah membuat Si Simbolon mencibir. "Minimal taruh dulu tas lo."

Galih terkekeh, lantas meletakkan tasnya asal di atas meja. Ia membuntuti Sharga dari belakang, kemudian keduanya duduk di bangku panjang di depan kelas. "Dimaafin, gak?"

"Dia ngangguk, sih."

"Jadi, dimaafin?"

"Tapi dia bilang 'nggak'."

"HA?"

"Bingung kan lu."

Sharga sebenarnya sudah bisa menduga reaksi apa yang akan diberikan Galih. Siapa pula manusia waras yang tak bingung jika mendapatkan perlakuan demikian dari seorang wanita?

Ah, jalan pikiran perempuan memang tak bisa ditebak.

Namun setelahnya, Galih tertawa lepas-lebih karena ekspresi Sharga yang begitu nelangsa. "Aduh ... muka lu, anjrit. Ya udah, anggep aja udah dimaafin."

"Gak bisa gitulah, jir." Sharga menyambar cepat. "Ah, tapi bodo amatlah. Yang penting gue udah minta maaf."

Galih mengangguk-angguk sembari tersenyum bangga, pun menepuk-nepuk punggung Sharga. "Ini baru temen gua."

Tak lama setelahnya, bel masuk sekolah berbunyi nyaring dan menusuk rungu, membuat kedua pemuda itu mengembuskan napas malas berbarengan.

"Cok, upacara."

"Kalo gak diabsen, gue mau bolos tadi sebenernya. Upacara bendera di sini kalo 17-an udah kayak upacara di Istana Negara lu tau, lama banget." Galih mengeluh, namun sambil tetap melangkah menuju lapangan bersama Sharga di sebelahnya.

Ya, hari ini seluruh murid SMAN Nusantara Raya memang diwajibkan hadir untuk mengikuti upacara bendera dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan Indonesia. Upacara hari Senin lalu ditiadakan, diganti hari ini, bersamaan dengan upacara kemerdekaan.

"Sama, Anjing. Lu bawa payung, gak?"

"Bawa. Nanti kita payungan aja bertiga sama Bu Carol."

"Brengsek, hahahahaha."

Ya, walaupun mengeluh, dua pemuda itu tetap mengambil posisi di barisan kelas mereka, menanti upacara bendera dimulai sembari bercengkerama.

* * *

"Udah berapa menit, Lon?"

"Hampir sepuluh menit, Bajing."

"Anjrittt kultum aje cuma tujuh menit."

"Ya lu liat aje Pak Samsul kalo ngomong sewoles ape. Yang lima menit kelar, sama dia jadi setengah jam, anjing."

"Ssstt!"

Sharga dan Galih kompak membungkam mulut ketika kawan di belakang berdesis menyuruh mereka diam. Sesekali dua pemuda itu menoleh ke belakang, membentuk gestur meminta maaf sambil menahan tawa. Memang tidak bisa diajak serius dua anak itu. Sesekali mereka goyang kanan goyang kiri, miring sana miring sini, pegal karena terus berdiri. Sesekali juga mengipas wajah dengan dasi, walau ya ... tak memberi pengaruh apa pun sebenarnya, tetap saja panas seperti melihat mantan kekasih yang punya pacar lagi.

Sharga sedikit menjenjangkan leher, menatap Pak Samsul-kepala sekolah mereka-yang masih memberikan ceramahnya, entah topiknya apa. Pemuda itu mengusap keringat di kening, lantas mengedarkan pandangan ke sekitar. Ah, murid lainnya pun tak berbeda jauh darinya. Kepanasan.

Sharga kembali mencoba fokus dengan kata demi kata yang keluar dari mulut Pak Samsul. Namun, keriuhan yang tiba-tiba terjadi di belakang punggungnya membuat Si Simbolon menoleh ke belakang, penasaran. Ia kembali jenjangkan leher, mencoba mencari tahu apa yang terjadi di barisan para siswi di belakangnya.

Story of ShargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang