"JADI ... lo sama Dinda temen SMP?"
"Mhm."
"SMP-nya di ...?"
"Cendikiawan."
"Oohh Cendi ... yang deket Taruna Jaya itu, kan? Lenteng Agung?"
"Mhm."
"Terus, kok bisa pas SMA satu sekolah lagi? Janjian, ya, lo berdua?"
"... Banyak nanya."
BRAK!
Sharga refleks bergetar seluruh tubuh ketika Niki tiba-tiba mengangkat wajah dan memandangnya datar sembari memukul meja. Pemuda itu refleks pamerkan cengiran ngeri, sedikit menggeser tempat duduknya ke samping. "Ampun, Bang."
"Liat gak gue lagi ngapain?"
"I-iya maap, Bang."
"Gue lagi mikir, lo ngomong mulu."
"Siap salah, Bang."
"Sekali lagi lo ngajak gue ngomong, awas lo, ya."
"Ampun, Bang."
"Berisik banget lagian, udah tau orang lagi mikir."
Niki ngedumel di tempatnya, lantas kembali fokus ke selembar kertas di hadapan sembari memutar pena di jemari. Ia bahkan tak sadar mengacak rambutnya sendiri saking pusingnya, persis orang baru bangun tidur. Sementara itu, Sharga di sebelahnya sesekali mencuri lirik, menatap kertas di hadapan Niki. Masih kosong melompong ternyata. Ya, guru bahasa Indonesia, Pak Mul, meminta para siswanya menulis puisi bertema bebas, dan Niki ternyata belum menyelesaikannya.
Pantas gadis itu jadi seribu kali lebih sensitif dari biasanya.
Sharga bersandar di tempatnya duduk, diam-diam menatap sisi wajah Niki. Nampak kesal dan putus asa. "Nik."
"Hm."
"Lo gak capekkah pasang muka marah mulu?"
"MUKA GUE EMANG GINI."
Memang hobinya mencari perkara.
Sharga tertawa lepas, puas betul rasanya ia melihat Niki marah-marah karenanya—ya, walau tetap takut, sih. Lihat saja, gadis itu kini melotot galak, tangannya teracung hampir memukul Sharga, untung saja pemuda itu cepat menghindar.
"Hahahaha, maap, deh. Ternyata setting-annya udah kek gitu dari lahir."
"LO KALO GAK BISA DIEM—"
"IYA, IYA, GUE DIEM, GUE DIEM."
"SSSTTT! Yang belakang, tolong jangan berisik! Memangnya sudah selesai tugasnya?"
Kedua anak manusia itu refleks bungkam setelah Pak Mul yang duduk di depan sana menegur, lantas berpura-pura fokus dengan tugas di atas meja kembali. Sesekali Sharga melirik ke arah Niki yang masih memasang wajah pusing dan galaknya, lantas menahan tawa.
Lucu melihat Niki frustrasi seperti ini karena puisi.
Menit demi menit berlalu. Diam-diam Sharga menatap Sang Gadis di sebelah, meneliti wajah dan lakunya sembari bertopang dagu. Entah sudah beberapa kali Niki mencoret kertas dan mengganti kertasnya.
Jadi tidak tega.
Sharga mengambil buku tulisnya di loker meja, lantas menyobek salah satu kertas di halaman tengah. Ia terdiam beberapa saat, nampak berpikir, sebelum kemudian menggurat kertas tersebut dengan pena, mengisinya dengan kata demi kata.
Sementara itu, Niki di sebelahnya nampak melirik. Keningnya mengernyit. Untuk apa Sharga kembali menulis? Sebab yang ia tahu, Sharga sudah menyelesaikan puisinya sejak setengah jam yang lalu, jauh sebelum pemuda itu mengganggu Sang Gadis dengan pertanyaan-pertanyaannya.
Beberapa menit kemudian ....
"Gue duluan, ya." Sharga bangkit, hendak mengumpulkan tugasnya yang memang sudah rampung itu. Sengaja betul ia melambai-lambaikan selembar kertas di tangan, kertas miliknya. Ya, lagi-lagi mencoba membuat Niki kesal dan "panas".
"Ya udah sana—"
Sret.
Kedua mata Niki sedikit membulat, ketika tiba-tiba Sharga meletakkan selembar kertas yang tadi ia corat-coret tepat di hadapannya, di atas meja. Jemalanya dengan cepat menoleh ke Sang Pemuda Simbolon, menuntut tanya. "Apaan, nih?"
"Pake aja. Dikit lagi jam pelajarannya mau abis." Sharga menjawab cuek, lantas melangkah menuju meja guru di depan kelas, mengumpulkan tugas puisinya.
Niki kehilangan kata-kata. Ia menatap secarik kertas tersebut, membaca isinya. Puisi.
Yang benar saja?Niki mengusap wajahnya dengan gusar. Kedua matanya menatap ke arah sosok pemuda bertubuh tinggi itu yang melangkah keluar kelas, mungkin hendak ke toilet. Lagi, Niki menatap kertas di tangannya yang penuh dengan coretan tangan Sharga.
Apa maksudnya?
* * *
Bahkan hingga berjam-jam setelahnya, Niki masih tak habis pikir dengan kelakuan teman semejanya, Sharga, yang rela menyusahkan diri sendiri untuk membuatkannya puisi tugas bahasa Indonesia. Yang ia tahu, Sharga bukanlah tipe yang peduli dengan orang lain. Niki lebih dari tahu bahwa pemuda itu adalah salah satu siswa berprestasi, namun kepintarannya hampir tidak pernah ia bagi-bagi secara sukarela seperti tadi saat di sekolah.
Niki menyandarkan punggungnya yang terasa kaku ke sandaran kursi meja belajarnya. Sebelah kuasanya menarik sebuah buku tulis dari dalam tas tepat di bawah kursi. Buku tulis bahasa Indonesia. Gadis itu meletakkan buku tersebut di atas meja, lantas membukanya, meraih selembar kertas yang terselip di sana.
Ya, kertas berisi puisi buatan Sharga.
Sejujurnya, Niki tidak menggunakan puisi itu untuk tugas bahasa Indonesianya. Ia rela mengumpulkan tugas puisi ciptaannya di detik-detik terakhir, yang menurutnya bisa saja membuat siapa pun yang membacanya muntah.
Ia tak ingin menggunakan puisi yang diberikan Sharga.
Niki menyalakan lampu belajar, lantas membaca deretan kata demi kata yang tertulis di kertas tersebut. Tanpa sadar, sebelah ujung bibirnya naik, membuatnya menggelengkan kepala setelah sadar bahwa ia hampir tersenyum.
"Haha, apaan, sih," monolognya.
Gadis itu meraih sebuah stiker di laci kecil yang ada di atas meja belajar, kemudian menempelkan kertas tersebut di papan pengingat dan jadwalnya sehari-hari, yang tergantung tepat di dinding di depan meja belajarnya. Kedua matanya lurus menatap kertas itu, kali ini tak lagi menolak senyum yang tiba-tiba hadir di irasnya.
━━━━━━━━━ BERSAMBUNG.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of Sharga
General Fiction[ TRIGGER WARNING: HARSH WORDS, VIOLENCE, EMOTIONAL & PHYSICAL ABUSE, SEXUAL ASSAULT, SELF-HARM, SUICIDE, TRAUMA, SEVERE DISEASE, ANGST. ] Sejak hari itu, ia tak lagi punya resolusi. Ia tak lagi punya tujuan. Di hari itu, ada sesuatu dalam dirinya y...