Sekolah sudah melewati hari ujian. Kini waktunya para murid kelas 12 menikmati hari bebas. Kebanyakan dari mereka berbondong-bondong pergi dari dalam kota menuju wisata-wisata yang ada di kejauhan. Padahal, jika saja mereka sadar,—pada daerah mereka yang tidak kalah jauh indahnya—mereka akan tetap di sini. Menikmati hari-hari bebas di kota sendiri. Seperti Robot dan Lista.
Mereka berdua berkeliling kota. Menikmati senja, pantai, kota, toko buku, curug, kolam renang, bukit, dan tempat-tempat lainnya yang belum pernah Lista kunjungi. Dan hanya dengan Robot lah Lista mengetahui sudut-sudut kota.
Malam itu mereka tengah berada di perbukitan. Menyaksikan bintang-bintang yang berguguran. Beberapa melintasi bumi, beberapa lainnya hancur tatkala menabrak atmosfer. Indah.
"Aku nggak mau kita berakhir, Ken," ucap Lista sambil merebahkan dagunya pada tangan yang melipat lutut, dengan wajah sedih.
"Aku nggak bisa memastikan, Lis," jawab Robot sambil merebahkan dirinya ke tanah.
Dalam posisinya masing-masing, mereka berdialog. Disaksikan pemandangan langit dan laut di kejauhan.
"Setelah lulus, aku harus kuliah ke Singapura. Semuanya atas perintah Papah. Sedangkan aku nggak pernah mau diperintah." Tanpa sadar, Lista mulai mengungkapkan keluarganya.
Ia melanjutkan, "Emangnya aku nggak bisa, ya, berkuasa atas diriku sendiri?"
"Bukannya ini kehidupanku? Seharusnya aku bisa mengendalikan hidup aku sesuai apa yang aku mau, bukan sesuai apa yang orang tuaku mau."
"Aku ini mau jadi penyanyi, bukan dokter. Tapi orang tua aku selalu mendoktrin anaknya buat jadi dokter. Aku bahkan nggak boleh beli alat-alat musik."
"Aku iri sama hidup kamu yang bebas. Tanpa kekangan keluarga, tanpa arahan siapa pun. Kamu berkehendak atas diri kamu sendiri, dan aku mau kehidupan kayak gitu, Ken!" Wajah Lista bersedih, air matanya mulai berjatuhan.
"Dari kecil aku selalu dituntut buat jadi yang terbaik buat keluarga. Sedangkan keluarga nggak pernah ngasih hal yang terbaik bua aku. Aku capek, Ken," tutur Lista menatap Robot penuh kesedihan.
Robot membangunkan badannya, duduk disamping Lista.
"Kapan kamu ke Banda Neira, Ken? Bisa dipercepat nggak? Ayo. Ayo kita mati bersama!" Lista memeluk erat tubuh Robot sambil menangis.
Isakan tangis itu mengundang perasaan Robot menjadi sedih. Ia benar-benar tersentuh, karena baru kali ini ia mengetahui tentang Lista dan keluarganya.
Saat seseorang mengeluhkan kehidupannya yang porak-poranda. Robot paham bahwa ini bukan waktunya untuk menceritakan kehidupannya yang lebih menyakitkan. Sebab, seseorang akan merasa tidak dihargai saat keluhannya ditimpa oleh keluhan seseorang yang menjadi tempat mengeluh.
Karena Robot bukan tipikal orang yang, "Lo mah mending, lah gua...."
Untuk pertama kalinya Robot menerima pelukan Lista. Ia memeluk tubuh gadis bermata biru itu dengan tulus. Mengelus rambutnya, sambil berkata:
KAMU SEDANG MEMBACA
Ephemeral
Teen FictionMarva Lazuardi Arken harus menghadapi kehidupan yang pahit semasa hidupnya. Ditambah lagi saat seorang Eunola Robin Heksalysta hadir di hari-harinya. Perjalanan Marva bertambah semakin sulit dan rumit tatkala ia harus menyelesaikan urusan keluargany...