01.

1.5K 91 2
                                    

Ketukan kamar yang nyaring menganggu indra pendengaran Sachio yang sedang bergelung nikmat di balik selimut. Di luar sana hujan deras mengguyur bumi. Suhu udara yang turun membuat siapa pun tidak ingin berjauhan dengan ranjang empuk dan selimut hangat.

Dalam tidurnya, Sachio bermimpi duduk di sofa keluarga, siap sedia untuk berangkat sekolah. Tinggal menunggu adiknya selesai bersiap sehingga Ibun yang pergi ke rumah sakit untuk bekerja akan mengantar mereka berdua ke sekolah seperti biasa.

Nyatanya hal itu hanya dalam mimpi. Suara ketukan kamar itu semakin kencang, disusul suara teriakan adiknya yang kali ini terdengar samar-samar. "Kak, lo udah bangun kan?!"

Sachio menggeliat dalam selimut. Di dalam mimpinya, ia melihat adiknya merengut kesal, bilang jika ia berkali-kali terlambat masuk ke sekolah karena ulahnya. Sachio mengernyit tidak terima. Ia kan sudah siap sejak tadi. Jika terlambat, tentu saja itu bukan salahnya. 

"Kakak udah siap dari tadi, ya, Piyo. Lo yang bikin telat," ujarnya pada Davio adiknya dalam mimpi. Ia mengambil bantal sofa, entah mengapa malah membaringkan tubuh di sofa ruang keluarga itu. Menenggelamkan wajah pada bantal empuknya saat mendengar hujan semakin turun dengan deras di luar sana.

Suara ketukan pada pintu itu semakin kencang terdengar. Kali ini suara yang berbeda berteriak samar masuk dalam gendang telinganya. "Kak Cio, bangun! Udah jam enam lebih!"

Itu suara Ayah.

Sachio masih terlelap dalam mimpinya.

Satu menit.

Dua menit.

Lima menit.


"SACHIO! BANGUN ATAU AYAH CONGKEL PINTUNYA!"

Demi mendengar teriakan Ayah yang tiba-tiba menggelegar, Sachio membuka mata dengan susah payah. Bukan. Sejujurnya bukan karena suara Ayah yang menggelegar, tetapi karena namanya dipanggil dengan benar oleh pria itu. Bukan Kak, Cio, atau Kak Cio melainkan Sachio! Hal yang hanya Ayah lakukan jika sedang serius atau marah.

Sachio gelagapan bangun, menyadari kalau ia belum memakai seragam, belum mandi, belum siap-siap sama sekali. Tubuhnya masih dibalut kaos putih yang ia pakai tadi malam, tertutup selimut tebal hangat. Ia menegok jam weker yang menunjukkan pukul 06 lebih 15 di atas nakas, menepuk dahi. Menyadari mimpi biadab telah membohonginya sepagian ini.

Ketukan pintu yang semakin kencang membuatnya segera membuka kunci pintu kamar yang tak jauh dari ranjang. Keseimbangan tubuh yang belum sempurna membuatnya duduk di ranjang lagi, mengusap wajah, lalu nyengir melihat wajah ganteng Ayah yang bersedekap dada di gawangan pintu sembari menatap dirinya yang masih muka bantal; tampak tidak kaget sama sekali. Adiknya yang sudah memakai seragam itu yang justru melongo.

"Tadi jam setengah lima katanya udah bangun terus mau mandi?" tanya Davio.

Sachio mengerjapkan mata, masih mengumpulkan kesadaran. "Hah?"

Hanya satu kata itu yang mampu ia beri. Otaknya masih bekerja keras, mengumpulkan sisa-sisa kesadaran, memberi pemahaman bahwa beberapa hal yang terjadi sebelumnya adalah mimpi belaka. Sachio bahkan tidak ingat kapan mengatakan hal itu pada adiknya. Lebih parahnya, ia masih mengantuk. Tadi malam ia tidur jam dua setelah menyelesaikan series favoritnya.

"Tidur jam berapa kamu, Kak?" Ayah melempar pertanyaan.

Lelaki yang tampak segar di pagi hari itu pasti sudah mencuci baju dan piring serta berolahraga ringan. Morning person, atau memang bertanggungjawab membantu Ibun saja mengurus dua anak laki-lakinya untuk bersiap untuk sekolah di pagi hari. Sebab Ibun juga pasti kelabakan untuk bersiap bekerja. Apalagi jika jadwal operasi di rumah sakit sedang padat-padatnya.

Sachio dan Rumah Oma [NCT Wish ft. NCT Dream]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang