09.

402 51 9
                                    

Suara denting piano terdengar saat waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Alunan nada yang dimainkan acak, seperti sedang berlatih. Siapa lagi pemainnya jika bukan Davio.

Sembari mencomot apel di atas meja makan, Sachio mendekati adiknya yang sedang fokus bermain. Ia kemudian duduk di lengan sofa dekat piano milik ayahnya, membuat pemuda 14 tahun itu menoleh merasakan kehadirannya.

"Ada tugas, Yo?" tanya Sachio lalu mengigit apel.

Adiknya itu kembali memainkan piano dengan melodi yang cukup familiar. Davio memang suka bermain piano sejak usia 8 tahun, tapi jika pagi-pagi seperti sekarang sudah bermain, berarti ada tugas dari guru seni musiknya di sekolah.

"Latihan buat UAS, Kak. Besok suruh bawain satu lagu," katanya.

Sachio mengangguk mengerti. "Mau bawain apa? Prelude in G Minor?"

"Emangnya mau bunuh diri?"

Sachio tertawa kencang demi mendengar jawaban adiknya. Mereka berdua tahu karya milik Rachmaninoff itu luar biasa susah dibawakan kendati sekelas pianis ahli pun. Meskipun begitu, Sachio sangat tahu juga jika Davio jatuh cinta pada piano pertama kali setelah menyaksikan resital piano yang membawakan Prelude in G Minor di Berlin tujuh tahun yang lalu.

Saat itu mereka sedang liburan keluarga ke Jerman. Ayah tiba-tiba mengajak mereka ke sebuah acara resital piano di sana. Latar belakang Ayah yang suka bermain musik khususnya piano adalah sebab utama. Usia Sachio 10 tahun kala itu, sedangkan Davio 7.

Mereka beberapa kali datang ke pertunjukan musik semacam itu di Indonesia, tapi resital di Berlin kala itu benar-benar berbeda. Megah, mewah, dan spektakuler. Pulang ke Indonesia, Ayah menyetem piano yang sudah lama ia anggurkan sebab Davio ingin coba memainkannya.

Hasilnya tidak mengecewakan. Tiga tahun les piano dan tujuh tahun berlatih mandiri membuat adiknya kerap kali menjadi juara saat ikut lomba. Sekarang lesnya sudah berhenti karena sibuk sekolah. Bukan Ayah yang minta, tetapi Davio sendiri yang ingin fokus ke akademik.

Sachio mengerti dahulu ayahnya hidup di bayang-bayang kejaran prestasi akademis. Bisa dilihat dari jalan yang diambil ayah dan saudaranya semuanya berorientasi pada pekerjaan dan penghasilan tetap, karir mapan dan pasti. Tidak ada satu pun yang mengambil jurusan seni meskipun Sachio tahu om dan tante-nya pasti memiliki bakat; seperti Ayah yang terampil bermain piano.

Maka dari itu, Ayah benar-bener memberi pilihan terbuka apa pun yang dipilih kedua anaknya sekarang.

Ayah bilang dahulu kakeknya yang mirip dengan Sachio itu juga memberi kehendak bebas untuk memilih apa pun. Akan tetapi, keluarga besar yang semuanya cemerlang di bidang akademis—entah itu keluarga buyut dari Opa maupun Oma—membuat mereka akhirnya menjadikan capaian akademis sebagai tujuan akhir pula.

Bagi mereka saat itu seni hanyalah pelengkap hidup. Mereka terdoktrin dengan lingkungan keluarga yang menunjukkan bahwa prestasi akedemik adalah kunci kesuseksan. Beruntung mereka berdelapan memang sepintar itu. Jika pergi ke rumah Oma, lemari kaca besar di ruang keluarga itu penuh dengan piala dan sertifikat ayah dan saudaranya.

"Kak Cioo, ini adek-adek kamu udah dateng." Ibun tiba-tiba berseru dari teras rumah. "Masuk aja kalian berdua. Ada Kak Cio sama Davio di dalem."

"Iya, Tante." Suara Saga dan Rio di depan sana terdengar.

Mereka berdua tampaknya semangat sekali pergi jalan-jalan. Padahal tadi malam sepakat untuk berkumpul jam sembilan, tetapi baru jam delapan dua bocah itu sudah ada di rumahnya.

"Saga kapan datengnya?"

"Kemarin pagi."

"Mamah, Ayah, sama Mba Senja sehat?"

Sachio dan Rumah Oma [NCT Wish ft. NCT Dream]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang