DELAPAN

36 11 18
                                    

PAGI TANPA SIANG DAN SORE

"Hai Gya. Seharusnya kamu bosan bisa melihatku di mana saja. Tapi please, kali ini aku mohon kamu menonton ini. Soalnya aku ingin menyampaikan terima kasih sebanyaknya buat kamu udah membawaku kabur ke pantai! Jujur, kamu nggak perlu menanyakan lagi gimana rasanya, karena aku tahu, kamu mengetahui kebahagiaanku!" Hembusan angin pun menyapu wajahnya yang berusaha menutupi raut kebahagiaan di wajah pelitanya agar mendorong sosok yang menontonnya kini selalu menjadi penasaran dengan kebahagiaan seperti apa idealnya di dunia ini.

Gadis itu tertawa akan hembusan di sekitarnya.

Hal mana turut bersusah payah untuk menggagalkan dorongan itu. Karena, sekali lagi, ia tak perlu menanyakan kebahagiaan itu selayaknya apa.

Kamera kemudian bergilir ke momen menemani langkah perempuan itu menyusuri batu-batu kecil di pesisir pantai. "Eh .. tunggu, siapa itu ya di sana?" Sorot kamera berpindah ke arah seseorang tengah duduk di warung kecil. Posisinya membelakangi perempuan itu.

Tampaknya sosok itu tengah menikmati coktail di sana. Lalu perlahan kamera membawanya mendekati punggung gagah tersebut. "Halo, mister!" sapa perempuan itu sesaat mendekati sosok perempuan itu maksudkan. Punggung tegap itu akhirnya melirik ke arah sang perempuan, baru ke kamera dengan posisi tak siap dan kamera lantas menghitam.

Aww! rintih Adrianna saat mencoba bangun dari kasur. Tubuhnya kini benar-benar lemas dengan rentetan rasa pegal juga nyeri di bagian bawah selangkangnya. Deg. Jantungnya berdesir hebat, menyadari kesalahannya. Ia tak berani melirik ke bawah begitu mengetahui rasanya percuma untuk memastikan keadaan itu berkali-kali.

Ia bahkan sudah tidak mampu mengelemuti perasaannya.

Menggambarkan bagaimana rasanya saat ini. Kepalanya senantiasa bergejolak hendak muntah namun berakhir tertahan. Yang ada menjadi rasa mual membubulinya setiap detik untuk berusaha menjabarkan perasaannya itu. "Hai, maaf aku membuatmu lelah." Adrianna terlonjat. Matanya refleks melirik ke sumber suara. Sosok tengah menjadi dalang ini semua, berdiri di pinggiran kaca.

Adrianna tidak bisa mengamuk, memakinya barang sebentar. Ia hanya cukup memandangi sosok itu dalam kekosongan yang sungguh menyeruak ke dalam sanubari Gya. Gya merasakan itu. Menelusuri pandangan sosok di depannya, bukan lagi seperti Adrianna yang Gya kenal. Sosok itu memucat, matanya tak dapat berbohong akan segala bentuk kekecewaan, dan jauh lebih besar untuk itu adalah kebingungan. Adrianna sudah menyerupai boneka hidup. Pucet pasi, dan mati.

Gya tidak berniat untuk mengeluarkan suara. Ia lebih memilih menikmati belenggunya serta Adrianna untuk saling bertegur. Ia tidak mau mendengar apapun. Selain perasaan hancur keduanya. Tetapi kenapa Gya juga bisa menjadi barang rapuh untuk tempat yang sudah dia perdayakan sehingga ia tidak bisa lari ke mana lagi? Sisi sialan itu bagai membawa angan-angan untuk menjadi busuk.

"Gya," panggil Adrianna dengan suara begitu kecil setelah terkunci bersama lamunan panjangnya. "Aku ingin pipis, tetapi badanku sakit semua," lanjutnya tanpa menoleh ke arah Gya dari sejak awal menyapanya.

"Kamu haus juga?" Adrianna hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Gya pun akhirnya mendekati Adrianna untuk menggendongnya menuju kamar mandi. "Apa aku harus menemanimu di dalam juga?" tanya lelaki itu di sela perjalanan mereka ke kamar mandi.

"Nggak perlu. Aku ingin sendiri dulu."

"Aku tunggu di luar kalau begitu," balas Gya seraya menuruni Adrianna ke tempat duduk closet secara perlahan. Posisi mereka pun hanya berjarak beberapa meter saja. Gya menatap lekat ke dalam mata indah itu untuk sementara yang dibalas demikian. Walaupun Gya tidak bisa merasakan sesuatu dari mata gadis itu karena begitu kosong, Gya tetap tidak mencegah dirinya untuk tidak lebih lama menyelaminya.

Seputih Kapas yang MengabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang