SEPULUH

22 6 0
                                    

Tersembunyi dalam Buih Asa

"Gya!! Hentikan!"

"Tolong Gya, aku nggak mau! Kamu terlalu bertindak jauh!"

Selang sedetiknya, Gya memutuskan untuk menurunkan Adrianna di sudut koridor. Adrianna meringis kecil seraya meremas pundak Gya. Dalam posisinya itu, menyiasatkan Gya untuk menarik Adrianna ke dalam pelukkannya. Ia mendekap lamat-lamat punggung setengah tak berdayanya itu. Berusaha untuk mengelupasi kerak-kerak porcelain yang kerap akan menghancurkan tubuh ringkih ia dambakan itu.

Dan menggantikannya dengan aliran kehangatan yang ingin, dan akan selalu menjadi tempat perempuan itu untuk berteduh. Gya mengusap punggung tak berdosa yang telah ia korek tiada henti, hanya karena keegoisannya untuk memahatkan tempat perlindungannya sendiri.

Gya memang tak sepatutnya melakukan itu secara keras hingga nyaris menyusutkan kewarasan perempuan itu. Ia hanya sepatutnya mengungkapkan hal terjadi padanya seperti menceritakan masalah menyebalkan kepada Adrianna, lantas, semuanya akan baik-baik saja.

Adrianna akan serta merta tetap di sampingnya. Ia tidak perlu begitu merasa takut, dihantui oleh bayang-bayang sepatutnya ia usahakan untuk mengelumnya dalam satu kepalan. Gya, sepatutnya tak takut untuk itu. Karena selama ini, ia dikenal sebagai sosok tidak penuh penyangkalan.

Tenang untuk mengepung siapapun saja yang mau mempercayainya. Bertindak dalam titik siapapun akan membukakan pintu selebarnya untuk dirinya tanpa adanya dorongan, ancaman atau apa saja. Begitulah Gya.

Gya yang orang di sekitarnya justru berusaha mempertahankannya oleh segala intrik yang bisa dimanfaatkan dan Gya begitu senang hati untuk memanfaatkan mereka balik. Tetapi bagaimana selama mereka mengenal Gya, baru Adrianna yang menyesali berada dalam lingkaran Gya.

Pun, dari sisi Gya sendiri, seperti orang tak terkendalikan untuk Adrianna. Ia tidak sejatinya melihat Adrianna semacam kesempatan. Melainkan, tempat tujuan. Hal mana, tidak berlaku kepada siapapun.

"Maafkan aku Adri," ungkap Gya, memecahkan keheningan yang telah menumpuk, saking dirinya terlalu menekuni tugasnya untuk menghangatkan Adrianna. Sekalipun, ia tak yakin akan hal itu.

Jantung bergemuruh gila dalam serangakaian perangai di kepalanya, mengeruhkan isinya. Semakin ia meminta maaf kepada perempuan itu, semakin keadaannya tak stabil untuk meresapi hal demikian. Menyesali perbuatannya itu sama sekali tak  bisa Gya pahami. Berbagai pergulatan di pikirannya senantiasa memojokkannya.

Ia juga tak bisa main mengatakan akan bertanggung jawab oleh apa yang terjadi pada Adrianna. Walaupun pastinya ia akan lakukan. Ia menginginkan perempuan itu. Mana mungkin ia melarikan diri dari perempuan yang pastinya akan memerlukan keberadaannya. Entah untuk apapun. Tetapi itu tidak akan mudah untuk Adrianna.

Gya sadar akan hal itu. Keterkejutan yang Adrianna alami itu, memerlukan proses cukup melelahkan untuk menguranginya. Gya tidak mau datang menjadi pahlawan ketika ia sudah menghancurkan gadis itu. Gya jauh lebih takut seandainya itu menjadi jarak baginya kepada Adrianna untuk lebih jauh lagi.

Gya tidak mau Adrianna meninggalkannya. Gya harus memperjuangkannya setengah mati, setengah hidupnya yang masih tersisa kehidupan. Untuk seluruhnya telah diprakasai halunisasi tak berkesudahan.

"Gya, tenanglah, Gya!" sentak Adrianna yang justru memperingatkan Gya untuk tetap di jalur semestinya. Gya seketika membuka mata. Wajahnya masih tersembunyi di dalam ceruk leher perempuan itu.

"Kamu nggak papa Adri?" tanya Gya dengan pandangan kosong.

"Aku hampir mati! Dan kamu paham itu!" jelas Adrianna. "Kenapa kamu tanyakan lagi?!"

Seputih Kapas yang MengabuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang