KEPULAN DAHAGA
Jakarta, Pada Suatu Hari, Di Salah Satu Apartement Senopati"Eh Co, lihat deh nih gua jadi atlet," ucap Jael selang membungkukan badan untuk membidik bola cue ke kantong sisi meja ke sosok tengah berbaring santai di sofa empuk sambil memainkan ponselnya. "Woy! Yaelah! Cuek banget dah nih orang!" lanjutnya sesaat menoleh ke arah sofa.
Tak lagi mencari perhatian kepada sohibnya ini, Jael segera menggerakkan tongkat biliard-nya. Namun tepat sikutnya baru mundur, getaran ponsel di kantong celana jeansnya memutuskan fokusnya. "Et! Satunya kagak peduli, dan sekarang ada aja yang ganggu!" celetuk Jael kepada diri sendiri.
Lalu dengan begitu terpaksa, dia menyingkirkan hiburannya terlebih dahulu untuk merespon penelponnya sekarang. Jujur saja, dia sedikit heran. hari libur begini, masih ada aja panggilan. Padahal dia sudah mengingatkan jajarannya untuk tidak mengusik hari istirahatnya.
Jael yakin, dia sudah mengirimkan pesan berantai di Imessage grupnya.
"Emang pada kurang ajar," dengus Jael di sela hendak melirik ke ponsel. Sebacanya layar ponsel, dahi Jael tiba-tiba menjadi berlapis serta kedua alisnya menjadi satu.
Ternyata, dugaannya salah. Nomor penelponnya bukan dari tim suksesnya Jael. Melainkan entah darimana. Pada layarnya, nomor itu tercantum tiga digit 021. Itu berarti kemungkinan nomor rumah atau pelayanan jasa lainnya. Entahlah.
Sejujurnya Jael tidak mau mengangkatnya. Dia mengira itu paling penawaran asuransi atau apalah. Dia males menghadapi nomor nggak jelas yang kadang membuat aktivitasnya berantakan.
Satu panggilan pun dia diamkan saja. Dibiarkan ponselnya di meja biliar sambil ia lirik-lirik sesaat. Panggilan berakhir. Dan Jael langsung menaruhnya kembali ke kantong.
"Eh! Bego! Lupa gua nonaktifkan!" Monolog Jael sekali lagi sambil menabok pelipisnya. Lantas dia segera membuka pengaturan. Selagi Jael sedang mencoba mematikan getaran ke silent mode, panggilan kedua kembali muncul. Kontan jarinya terpleset untuk menerima panggilan. "Syit men!" umpatnya.
"--Jael! tolong gue!" Sebelum Jael hendak mematikan panggilan, suara serak seraya bergetar dari seberang telepon itu langsung mendahuluinya. "Ini gue Adri! Gue takut Jael! Gue mau pulang!" Jael yang dalam kebingungan akan hal di luar sana, sedikit kagok menanggapi telepon itu. Dia ngeri, jangan-jangan ini adalah oknum penipu atau dia sedang dikerjai Adrianna.
Eh, tetapi kalau kedua nggak mungkin sih. Adrianna itu nggak suka sama bercandaan kayak begitu. Dia tahu betul adiknya. Maka, apakah itu berarti si penipu tengah menyamar menjadi adiknya? "Jael! Lo dengar nggak sih?! Gue takut! Tolong jemput gue!" teriak sosok di seberang telepon. Membuat Jael menjauhi sejenak ponselnya dari telinga.
"Hah? Adrianna? Ini lo serius?"
"Astaga, Tuhan." Decakkan frustasi terdengar di telinga Jael. Dan tampaknya pelan-pelan Jael mulai menyadari bahwa dia salahpaham dengan pikirannya sendiri. Entah, dari suara decakkannya itu, dia hapal betul. Persis menyerupai Adrianna. Tidak mungkin kan ada seorang yang bisa menyerupai seseorang sebegitu detailnya?
Maksud Jael, teknologi di Indonesia sudah secanggih itukah? Ya, dia tahu, Al bukan lagi barang asing di sini tetapi tetap saja trial and error itu masih menjadi perhatian di sini. Terlebih sdm yang sampai sekarang belum mempuni untuk keberlangsungan hidup jaringan teknologi. Jael merasakannya selama berkecimpung di dunia 3D design interior. Anjir .. jauh banget pikiran gua, sahut Jael dalam pikirannya.
"Gua nggak tahu lo orang beneran apa bukan. Tapi plis, gua lagi nggak ada duit, jadi mungkin--"
"Jael! Ini gua Adriann Jayatri Pradipta! Anak dari Pradipta Wicaksono! Yang sekarang lagi liburan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Seputih Kapas yang Mengabu
عاطفيةSeorang Dosen Gya Katon Bramatja bertemu dengan seorang muridnya, Adrianna Jayatri di suatu acara malam keakraban. Sosok kalem namun begitu terbuka, membuat Gya lebih mudah akrab dengan murid-muridnya, termasuk Adrianna. Perempuan manis yang notaben...