Pasar Pinggir Kota

44 5 0
                                    

Warna jingga membumbung tinggi di ufuk barat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Warna jingga membumbung tinggi di ufuk barat. Bising orang-orang yang berbincang dan canda tawa mengganggu indra pendengaran yang telah lama jauh dari suara keramaian. Mereka tengah asik dengan dunianya masing-masing hingga tak sadar jika sosok lusuhnya kini telah berganti dengan pakaian sederhana yang cukup bersih. Kulit pucat yang dulu sering ternodai lumpur dan memar tertutup oleh helaian baju membuat dirinya hampir menyatu dengan lingkungan sekitar. 

Sorot mata itu menatap sayu pada orang-orang yang tengah menikmati suasana sore di pasar pinggir kota. Dia berjalan tertatih karena kakinya luka sebelah sembari berusaha mengikuti seseorang. Tubuhnya masih lemah meski kali ini dia telah diberikan makanan. 

"Diam disini sebentar!" perintah orang yang bersamanya. Dia menurut, orang itu masuk ke dalam sebuah toko yang ramai sedangkan dirinya harus menunggu di luar ruangan sendirian. Padahal sore itu udara cukup dingin untuk berada di luar ruangan tanpa melakukan apa-apa. Apalagi ketika dia juga hanya menggunakan baju tipis yang diberikan cuma-cuma untuk sekedar agar dia terlihat lebih indah dipandang mata.

Tak selang cukup lama, orang tersebut menghampirinya kemudian memintanya untuk ikut masuk ke dalam. Mereka menemui seseorang yang telah membuat janji temu sebelumnya. 

"Ini yang saya bicarakan, anda tidak perlu khawatir karena dia anak yang penurut. Saya menjaminnya karena saya sendiri yang membesarkannya selama ini." ya benar, kegiatan yang tengah dilakukan di dalam toko itu adalah sebuah perdagangan budak. Orang yang berbicara adalah tuan pertama yang akan menjualnya kepada tuan lain.

Anneliese gadis berusia enam belas tahun. Dia dirawat oleh tuannya sejak masih berusia tujuh tahun. Dia ditemukan di keramaian pusat kota seorang diri setelah ditinggalkan oleh orang tuanya yang tidak bertanggung jawab. Liese adalah nama panggilan yang dia bawa dari orang tua kandungnya yang tega membuang dirinya tanpa belas kasih. Naasnya, dirinya harus ditemukan oleh keluarga yang tidak baik sehingga hidupnya harus berakhir menjadi budak untuk keluarga itu. Apapun yang diterimanya meskipun tidak layak, Liese harus membayar semua itu dengan menjadi budak seumur hidup walau sekarang harus berakhir dijual pada orang lain.

Liese tidak berusaha kabur atau membela diri karena selama ini dia hanya menerima penderitaan jadi apapun yang akan terjadi, di dalam pikirannya selalu berujung penderitaan lain sehingga dia tidak perlu bersusah payah untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Hal ini bukan karena tidak berdasar alasan, Liese sudah berulang kali mencoba kabur atau melakukan hal yang bisa membuat hidupnya berubah tetapi dia selalu berakhir antara kalau tidak tertangkap maka dia akan dikurung selama seminggu setelah dicambuk habis-habisan.

"Dia cukup cantik untuk menjadi seorang budak." timpal orang yang ingin membelinya. "Bagaiaman kalau saya jadikan istri ketiga saya?" mereka tertawa.

"Candaan tuan boleh juga. Tapi bagaimana dengan istri-istri anda. Mereka pasti tidak akan setuju jika anda menikah dengan budak rendahan seperti dirinya."

Tawa disambung oleh tawa. Liese telah terbiasa direndahkan oleh sosok laki-laki hidung belang. Dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima. Satu hal yang dia harapkan, semoga kehidupannya tidak lebih tragis dari disiksa. Liese selalu berharap, tidak apa-apa jika dia tersiksa fisik selama kehormatannya tidak dirusak hanya karena dia seorang budak. Tapi ini juga cukup sulit karena Liese mempunyai paras yang cantik.

"Yah bisa saya pikirkan nanti." katanya. Obrolan tersebut berakhir dengan transaksi yang tinggi karena menurut penjelasan tuan pertamanya, Liese cukup kompeten dalam merawat rumah, memasak sajian makanan, mengurus ternak dan hal lain yang biasa dikerjakan oleh para pelayan. Semua bisa Liese lakukan jadi tuan itu tidak perlu banyak mempekerjakan pelayan lain.

Pertemuan sore berakhir dengan langit yang berubah gelap. Setelah transaski berhasil dan mereka menghabiskan waktu sembari minum-minuman alkohol, tuan kedua yang telah membelinya mengajak Liese pulang ke rumahnya. Mereka menaiki kereta kuda. Liese duduk bersebelahan. Tuan itu bernama Rudy. Sosok paruh baya berkisar empat puluh delapan tahun dengan otot yang masih kekar karena dia rajin berolahraga. Selama perjalanan, Liese dirangkul, dipaksa untuk duduk berdempetan agar dia leluasa menyentuh tubuhnya. Meski beberapa kali Liese menjauh, Rudy terus berusaha memegangnya. Selain dia memang hidung belang, perlakuannyan itu juga didasari oleh pengaruh alkohol yang diminumnya tadi.

Selama hampir setengah jam Liese melewati perbuatan bejat yang dilakukan tuan keduanya, akhirnya mereka tiba. Ada rasa syukur karena perlakuan tersebut tidak sampai menjadi mimpi buruk baginya karena tidak ada hal lain yang terjadi lebih dari itu.

Sebuah rumah besar dengan halaman super luas menjadi suguhan indra penglihatan. Rudy merupakan tuan yang kaya raya. Tidak heran jika istrinya sampai dua. Ketika mereka tiba, istri pertamanya menyambut suaminya dengan sangat ramah. Ada nada kehangatan yang diucapkan mengesampingkan realita bahwa saat itu suaminya sedang pulang dengan kondisi mabuk. Namun setelah sambutan hangat itu selesai ditujukan, tatapan sinis dan ucapan menyakitkan Liese terima sebagai tanda selamat datang. Yah mau bagaimana lagi, Liese tidak terkejut mendapatkan itu karena selama ini yang dia dapatkan hanyalah hal-hal buruk. Tidak ada pembeda antara pemiliknya yang dulu dan yang sekarang.

Gudang belakang di sebelah kandang ternak menjadi tempatnya untuk tinggal dan beristirahat. Gudang itu tidak ada alas tidur, hanya jerami dan selimut lusuh yang robek diberikan untuknya. Liese diantarkan oleh salah satu pelayan rumah keluarga Rudy yang telah bekerja bersamanya cukup lama. Total pelayan yang ada disana dua, dan kini bertambah satu lagi dengan dirinya.

Malam itu berjalan cukup panjang. Liese merebahkan dirinya diatas jerami dengan tetap menggunakan baju yang sama. Dia menatap langit-langit, hidupnya belum berubah. Yang berubah hanyalah tempat tinggalnya. Di malam itu, dia berharap semoga kehidupannya kali ini akan menemukan sedikit kebahagiaan. Dia tidak mengharapkan hal lain selain itu karena Liese sadar diri dengan keadaan dan kondisinya, dia tidak ingin serakah meminta hal lain yang terasa mustahil untuk dia dapatkan.

.

.

.

Langsung update tiga!

Selamat membaca, kalau suka jangan lupa kasih bintang <3

ANNELIESETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang