8

3.3K 676 22
                                    

Harga diriku tersakiti, kawan-kawan seperjuangan. Tidak kusangka idolaku akan mengomentari nilai ulangan milikku. Harus kuakui dia ada benarnya juga. Sekalipun jiwaku masih tersentuh pengaruh kehidupan lama, tapi sepertinya warna anak-anak mendominasi seluruh diriku. Artinya, kemampuan otakku payah.

Oke, jangan patah arang. Meskipun nilai milikku jelek, setidaknya semangat mengasihi Mr. Villain masih utuh dan makin bertambah. Ibaratnya aku ini penggemar garis keras yang akan mendukung apa pun yang idolaku lakukan. Kecuali, hal buruk. Ya masa aku mendukung Igor membunuh siapa pun atau menyuruhnya jadi cowok bucin yang menghabiskan waktu mengejar tokoh utama?

Nay dong. Aku akan tetap—

“Irene....”

Suara papaku berhasil mengusir lamunan yang bersemayam dalam kepala. Aku mengerjap, menatap sekitar, dan sadarlah diri ini sedang semobil dengan papaku.

Aku duduk di jok depan, di kursi penumpang. Mama bilang aku harus pulang dijemput Papa. Itu artinya dia telah memaafkan kesalahan Papa (entah kesalahan apa pula yang dia perbuat, sih?).

“Kamu masih memikirkan bocah itu, ya?”

Pertanyaan Papa seperti sebuah anak panah yang melesat tepat ke dada. Meski enggan mengakui, tapi itulah yang kupikirkan.

“Iya, Pa,” aku mengaku. “Kepikiran soal Igor. Kenapa dia nggak mau diantar Papa, ya?”

Papa hanya mendengus. “Iren masih kecil, ya? Jangan pacaran. Sekolah yang benar agar nanti bisa jadi orang sukses.”

Keningku pun berkerut mirip jeruk purut. Ucapan Papa sama sekali tidak masuk akal bagiku. Apa urusannya pacaran dengan mencemaskan idolaku? Tidak relevan dong.

“Aku nggak pacaran,” kataku menolak tuduhan Papa. “Pa, boleh nggak kita tinggal di sini saja? Kan asyik. Udara segar, banyak pohon berbunga indah, dan jajanannya enak-enak.”

“Di kota kecil ini,” dia menjelaskan, “kurang memadai untuk beberapa hal. Papa dan Mama sepakat ingin menempatkanmu di lingkungan yang lebih luas daripada kota ini. Jangan cemas, Iren. Kamu masih memiliki waktu beberapa bulan. Setelah ujian akhir semester, kita akan mengurus kepindahanmu.”

Ada rasa sakit yang berdenyut di dada. Aku tahu perpisahan ini hanya semu belaka. Toh ada telepon, email, dan panggilan video menggunakan alat canggih. Namun, bertemu langsung tidaklah sama dengan tukar salam lewat aplikasi apa pun.

Ini menyebalkan lho. Aku jadi tidak bisa mengamati pertumbuhan idolaku. Sayang sekali melewatkan dia melewati masa puber menuju jentelmen seksi. Siapa pun lebih beruntung daripada diriku karena bisa mengagumi Igor dalam berbagai versi. Chibi ke ikemen. Huwa huwa ingin menangis. Apa aku perlu melakukan aksi kesurupan agar Papa dan Mama....

Tidak boleh. Namanya aku tidak tahu diri.

Sepanjang perjalanan pulang aku tidak tertarik bicara apa pun. Mataku fokus memperhatikan jalanan. Ke tempat-tempat yang biasa kulalui bersama Mama maupun Igor. Ke tempat penjual bunga yang punya anjing lucu. Ke taman yang memiliki pohon besar yang di dalamnya ada rongga cukup luas untuk seorang bocah cilik. Ke dunia yang tidak bisa dipahami oleh orang dewasa.

Sampai di rumah pun pikiranku masih mengembara ke tempat indah itu. Aku ingin menyimpannya, rapat dalam benak, dan mengenangnya sampai dewasa.

“Iren, Mama buat ayam goreng!”

“Oke, Ma! Aku siap makan siang!”

Apa tadi yang sempat kupikirkan? Ayam goreng buatan Mama yang terbaik!

***

“Igor, main yuk!”

Istirahat pertama ... oh rencanaku gagal. Igor makin populer dan semua anak di kelas kini tidak ragu menawarkan apa pun. Main basket, mengerjakan PR bersama (alias mereka banyak yang mencontek tugas Igor), dan terutama anak cewek yang tanpa malu memperlihatkan rasa suka mereka.

Beginilah aku. Gagal menghabiskan waktu terakhir bersama idolaku. Namun, tidak masalah. Melihat Igor punya teman pun cukup menyenangkan. Toh aku masih punya beberapa teman yang tidak tertarik mengejar Igor. Barangkali mereka takut kena sikut, sih. Soalnya pemuja Igor lumayan barbar.

Kenapa aku bilang pemuja Igor barbar? Ya, karena.... Oh para perundung Igor kena karma lho. Mereka dilawan habis-habisan oleh sejumlah anak cewek yang mendedikasikan diri sebagai pelindung Igor.

“Kenapa kamu nggak menempel kepada Igor?”

Di sampingku, duduklah Diana. Kakak kelasku itu ternyata tidak terlalu mendedikasikan diri kepada Igor. Buktinya sekarang dia lebih sering main denganku daripada Igor. Kami sedang duduk di salah satu batu, sibuk menghabiskan es krim (Diana yang beli, bukan aku), dan memandang kerumunan pemuja Igor.

Aku pun mengangkat bahu, ringan, seolah itu bukan masalah besar. “Biar saja deh. Kan aku teman yang baik. Nggak boleh cemburu.”

Diana mengangguk. Es krim miliknya sudah habis. Dia melempar stik es krim ke tong sampah. Gol! Masuk dengan sempurna. “Kamu jadi pindah, ya?”

“Kok Kak Diana tahu?”

“Soalnya teman sebangku bilang pawangnya Igor akan mengungsi,” ia menjelaskan. “Jadi, semua anak cewek punya harapan mendekati Igor.”

Dih. Masih kecil otaknya sampai ke genre romansa. Apa jadinya masa depan bangsa nanti? (Iya, tidak ada urusannya. Aku mengerti.)

“Kak, aku ikut orangtuaku kok.”

“Bagus,” katanya. “Aku juga mau pindah. Setelah kupikir dengan cermat, aku mau jadi model. Mama bilang dia dulu ikut sekolah model. Aku mau mengikuti jejak mamaku.”

“Nanti kalau terkenal jangan lupakan aku, ya?”

“Kamu harus sering kirim surat. Email atau telepon juga boleh.”

“Aku pasti akan kirim surat yang banyak. Segudang!”

Yang tidak kutahu, esoknya Diana memberiku sekotak besar hadiah. Dia menyerahkannya sewaktu pulang sekolah. Untung sih teman-temanku sopan dan bukan tipe ingin tahu. Oh iya, aku lupa. Hahahaha. Mereka lebih ingin tahu persoalan Igor daripada diriku. Sedihnya. Posisiku tergeser secepat itu.

Sekalipun Igor jarang menemaniku saat jam istirahat, tapi dia selalu menyempatkan diri menunggu Papa menjemputku.

“Sepertinya aku akan sangat merasa kehilangan kamu deh,” celetukku sembari mengamati jalanan. “Soalnya nggak ada anak semanis kamu. Yakin! Seratus persen!”

Aku menoleh, menatap Igor yang telinganya merah sempurna. Dia kenapa, sih? Sakit?

“Yakin?” tanyanya dengan suara gemetar.

“Pasti dong. Kamu tetap yang terbaik.”

Andai kedua tanganku sedang tidak membawa kotak, sudah kugandeng tangan idolaku. Minggu depan ujian dan kebersamaan kami tinggal menghitung jari. Rasanya enggan berpisah dengannya. Aku ingin bisa melihatnya membumbung ke langit dan menjadi penguasa!

“Aku akan berusaha jadi orang besar,” katanya kepadaku.

“Ih sama,” celetukku, sungguh-sungguh. “Akan kukejar kesuksesan agar nanti bisa menyiramimu dengan kekayaan.” Aku serius mengenai momi gula. Targetku adalah Igor. Kalau perlu akan kulawan semua male lead demi melindungi idolaku.

“Aku yang akan mencarimu,” katanya dengan tatapan tekad tidak tergoyahkan. “Saat dewasa nanti, aku yang akan mencarimu.”

Idolaku bilang ingin mencariku? Mencariku? Dia ingin mencariku dan bukannya tokoh utama? Apa telingaku sehat? Yeiy! Berarti posisiku di hatinya lebih tinggi daripada siapa pun!

“Janji?”

Tanpa ragu, dia pun menjawab: “Janji.”

***
Selesai ditulis pada 6 Februari 2024.

***
Sinyal hari ini susah banget. Astaga! Ingin update saja harus nunggu lama.

#Menangis.

#Menangis.

TUAN VILLAINKU~ (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang