22

2.4K 433 18
                                    

Kakek? Apa aku tidak salah dengar? Mengapa Igor memanggil Mr. Thyerin dengan sebutan kakek?

Begitu banyak pertanyaan dalam kepalaku. Terlalu banyak.

“Senang melihatmu sangat bersemangat,” kata Mr. Thyerin sembari menampilkan senyum memikat. “Akhir-akhir ini aku kesulitan menghubungi papamu. Apa dia berencana menjauhiku, Nak?”

“Papa baik-baik saja,” balas Igor dengan tenang. Dia meraih tanganku, menggenggamnya, dan menarikku hingga aku berdiri. “Kek, dia calon istriku. Tolong jangan culik dia, ya.”

Tawa pun menyembur dari mulut Mr. Thyerin. Dia jelas sangat menikmati pertunjukan drama dadakan. Binar keriangan terpancar jelas di kedua mata lelaki tua itu. Sumpah! Sumpah sumpah sumpah sumpah sumpah aku bingung!

“Baiklah,” ucap Mr. Thyerin seraya mengangkat tangan, memberi isyarat agar kami pergi, “bawa calon istrimu.”

Igor langsung menjalankan perintah Mr. Thyerin. Dia membimbingku keluar dari deretan meja, melewati pandangan ingin tahu pengunjung, dan bebas dari restoran. Saat kami telah berada di luar restoran, tepatnya di bawah naungan pohon berdaun kuning dengan bunga berwarna putih, rasa ingin tahu dalam diriku pun tidak bisa ditahan lagi.

Sungguh mati aku jadi penasaran. Persis kutipan salah satu lagu dangdut yang sering kudengar dinyanyikan oleh seorang pria. Penasaran. Sangat penasaran.

“Igor....”

Oh dadaku rasanya tertekan oleh beban keingintahuan. Bila tidak segera dipenuhi oleh informasi yang kubutuhkan, bisa-bisa kena asma.

“Aku mengerti,” sahutnya.

“Apa kamu ... maksudku, cucunya Mr. Thyerin?”

“Bisa dibilang kerabat jauh.”

Kugigit bibir bawah. Jemariku rasanya gatal sekali ingin mencakar-cakar informasi apa pun yang bisa kuperoleh dari Igor. “Jadi, kamu kenal Jupiter Thyerin, ‘kan?” tuduhku, kesal.

“Ya,” ia membenarkan. “Hanya saja kami tidak punya hubungan baik.”

Ha.... Jadi, selama mereka menungguku di kantor ... oh terjadi sengketa antara saudara? Tunggu! Aku masih bingung.

“Kamu seorang Thyerin?”

Igor mengusap kepalaku, pelan dan lembut. “Nenekku saudaranya nenek Jupiter.”

“...”

“Bisa dibilang kami masih satu keluarga, ‘kan?”

Apa sebutannya? Kerabat jauh?

Aku menggeleng, menolak menambahkan beban pikiran ke dalam kepalaku. Cukup si penulis bernama Semanggi saja yang membuatku kena mimpi buruk karena harus baca adegan tragis! Jangan kehidupan nyataku. Aku mau genre hidupku manis bagai permen.

“Ayo kuantar pulang,” Igor menawarkan. “Adik dan orangtuamu pasti cemas.”

Tidak ada perdebatan. Aku patuh mengekori Igor menuju parkir.

Di dalam mobil, pikiranku masih saja terkena tornado fakta. Satu demi satu bocoran yang pernah game berikan pun membuatku makin pusing. Paling pusing: tokoh utama cewek belum muncul! Ke mana perginya karakter yang satu itu? Karakter itu bukan tidak bernama. Dia memiliki nama dan profesi. Seorang artis dan penyanyi. Kenapa dia belum muncul dan oh aku tidak butuh Jupiter!

“Mungkin sekalian aku ketemu papamu, ya?”

Suara Igor menyadarkanku dari acara melamun tiada guna. Soalnya yang kulamunkan itu beban pikiran.

“Ketemu Papa? Sekarang?”

“Dia pasti ada di rumah, ‘kan?” Igor terkekeh. “Sekalian saja aku ketemu.”

Aku menjulurkan tangan, menyentuh benda apa pun yang ada di hadapanku. “Kenapa kamu langsung ke sini?”

“Insting,” jawabnya, menjelaskan, “aku takut Kakek akan memintamu mempertimbangkan pilihan. Dia lelaki tua yang sangat menyayangi keluarga.”

“Apa pun yang ia katakan, aku nggak akan berpindah ke lain hati.”

Enak saja. Siapa yang tertarik jadi tawanan cinta semacam itu? Ogah! Jupiter itu ibarat lampu lalulintas merahnya kebangetan. Sekarang memang belum terlihat, tapi nanti kalau sudah menjalin hubungan asmara....

Hohoho mohon maaf, aku tidak ingin mencari tahu rasanya dipenjara oleh cowok dengan alasan cinta. Di game sangat jelas diceritakan bahwa Jupiter mengurung kekasihnya di pulau asing, jauh dari keramaian, dan membuat si cewek bergantung kepadanya. Bisa gila aku jadinya. Tidak ada akses internet, tidak ada minimarket yang menjual keripik pedas, tidak ada tontonan ibu-ibu bertukar informasi, dan pinggangku terlalu rapuh untuk lelaki setan!

Aku langsung mengalihkan pandang kepada Igor. Kuperhatikan lengan Igor yang terlihat ramping, tapi kokoh. He he he kalau Igor ... hmm biar aku yang jadi sipir! Kupenjarakan Igor dalam penjara cinta. Akan kusayangi Igor dengan intensitas menakjubkan. Oh, haruskan kunyanyikan lagu romantis?

“Iren?”

“Oh maaf,” ucapku gelagapan. “Apa?”

“Tadi aku tanya, bagaimana pekerjaanmu?”

Oh itu. “Sepertinya kepala editor berniat meracuni editornya. Kami dapat naskah berbeda dari minat yang biasa kami tangani.”

“Sepertinya menarik.”

“Nggak menarik,” serangku tanpa ampun. “Aku nggak suka baca novel laga. Biasanya novel laga itu pasti ada tambahan tragedi dan tokohnya nggak ada jaminan bisa bahagia. Kalaupun berakhir bahagia, pasti ada tokoh penting yang mengorbankan diri.”

Hei aku tidak main-main. Contoh saja Arya Kamandanu yang kehilangan cinta pertamanya, kemudian cinta keduanya pun direbut oleh kakaknya juga. Seorang penyair yang hobi mabuk! Aku heran tokoh semacam ini tidak dapat karma mengerikan!

Lalu, Roro Jonggrang. Padahal dia memang pantas tidak menerima lamaran si pangeran dari kerajaan yang telah menghancurkan negeri serta membunuh ayahnya. Wajar dong Roro Jonggrang menolak!

Ck ck ck sedari dulu sepertinya cewek tidak boleh jujur kepada dirinya sendiri. Menolak cowok saja butuh muslihat agar tidak membuat dirinya terancam.

Haha tolak saja kalau tidak suka.

Aduh! Masalahnya setiap kali si cewek menolak, kalau tidak kena serangan fisik ya teror. Apa cowok tidak bisa belajar menerima penolakan? Contohnya, si Jupiter! Apa dia tidak bisa mengerti kalau aku tidak suka dia!

“Minggu nanti,” kata Igor, mengusir badai pikiran yang bersarang dalam kepalaku, “bagaimana kalau aku temani kamu?”

Hmmm asyik. Aku mau modus ah. “Igor, kita nonton di bioskop, ya?”

Hi hi hi rencana cemerlang. Nanti aku akan pura-pura takut, teriak dengan suara imut, lalu peluk Igor. Ha ha ha membayangkan saja membuat wajahku terasa panas. Pasti pipiku bersemu merah nih.

“Boleh,” Igor menyetujui. “Apa yang ingin kamu tonton?”

Beberapa judul film mulai bermunculan di benak. Namun, telah kupilih satu judul keren. “Bagaimana kalau kita nonton Rahasia Kamar Nomor 13?”

Aku sempat nonton cuplikan promo di internet. Kujamin cukup mengerikan dan pastinya aku bisa modus terus ahahahahahahahaha. Cerdas! Cerdas! Cerdas!

Kedua alis Igor pun menyatu. “Kamu serius?”

“Kenapa? Takut, ya? Nggak apa-apa kok semisal nanti kamu pinjam tanganku buat dipeluk. Uhuk. Aku akan dengan senang hati menjadi sandaranmu,” kilahku sok tahu. Benar-benar sinting.

Igor terkekeh. “Bukannya kamu tadi curhat masalah pekerjaan? Kamu bilang nggak suka naskah laga dan tragedi. Iren, yang kamu tawarkan tadi film horor.”

Aku mengedikkan bahu. “Nggak masalah kok. Lagi pula, ada kamu di sisiku. Nanti kalau aku takut ... hmm tinggal peluk kamu-eh?”

Astaga.

Rencanaku....

Kenapa aku bilang rencana rahasiaku kepada Igor?

***
Selesai ditulis pada 23 Februari 2024.

***
Naskah lainnya akan saya cicil ... nanti. Hiks.

(Menangis.)

(Menangis.)

TUAN VILLAINKU~ (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang