25

2.2K 421 12
                                    

Kutunjuk ponsel, meminta Igor agar menerima panggilan suara dariku. Sebab kali ini dia jelas “sepertinya” tidak terjebak rapat, kuberanikan diri mengganggu waktu luangnya. “Mau bicara berdua?” godaku ketika sambungan telepon terhubung.

Igor terkekeh. Aku suka mendengar tawanya. Tampaknya aku menyukai apa pun dari Igor. Asal itu bukan utang dan kredit. Malas!

“Biar aku yang ke sana,” katanya.

Sambungan telepon pun terputus. Kulihat dia memberikan intruksi kepada lelaki terdekat, sebelum memutuskan melangkah pergi mencariku. Kuamati dia melenggang santai di antara kerumunan yang terpesona oleh Scarla. Sama sekali tidak tertarik bergabung dengan mereka. Dia naik eskalator, berdiri santai dan membuat beberapa cewek mencuri pandang. Eh aku serius. Cewek-cewek menatap genit calon suamiku ... HEH DIA CALON SUAMIKU! SUAMIKU! SIMPAN KELEBIHAN HORMON KALIAN, WAHAI PARA CEWEK!

Aku tidak mau berubah jadi buto ijo dan mengejar semua cewek yang genit ke Igor. Bisa-bisa Igor-lah yang memutuskan mencampakkanku! Tidak!

“Iren.”

Suara Igor mengenyahkan lamunanku mengenai berubah jadi buto. Dia sudah berdiri di hadapanku. Lekas kuhampiri dia dan tidak lupa kupasang senyum termanis. “Kenapa kamu bisa ada di sini?”

“Urusan pekerjaan,” jawabnya.

“Oh.” Aku manggut-manggut. Sok paham. “Kalau aku niatnya mau beli buku.” Kutunjuk toko buku yang ada di dekat kami. “Tapi, tertarik nonton keramaian di sini.” Kali ini aku menunjuk panggung Scarla. “Jadi, batal beli buku.”

“Mau aku temani,” dia menawarkan bantuan. “Sekalian saja kubelikan semua buku yang kamu ingin baca.”

“...” Oh hoooooo. Inilah salah satu kalimat pamungkas yang bisa membuat jantungku berdegup kencang seperti genderang mau perang. Daripada dipuji cantik, aku lebih senang bila ada yang menawariku membelikan semua buku yang kubutuhkan!

Lekas aku mengerjap, mendorong euforia dalam hati agar tidak meletup keluar dari permukaan.

“Oke,” sahutku, riang. Kugandeng tangan Igor, membiarkan jemarinya menyelimuti jemariku. Kami pun melangkah menuju toko buku.

Tidak seperti awal kedatanganku, suasana di toko buku cukup ramai. Rata-rata didominasi oleh orang-orang yang berkerumun di bagian nonfiksi dan novel. Semua tampak sibuk dengan dunia mereka.

Kulirik keranjang plastik warna merah. “Igor,” aku memanggil dengan nada manja, sengaja kutempelkan kepala ke lengan Igor, “mau belanja banyak buku, nih.”

Alih-alih memberiku peringatan agar tidak belanja terlalu banyak, Igor hanya tertawa dan membelai kepalaku. “Ambil yang kamu suka.”

Dia bilang ambil yang kusuka. Kusuka, bukan kubutuhkan. Itu artinya dia tidak keberatan bila aku memborong semua buku dari rak di ujung sana sampi ujung satunya. Apa ini namanya kalau tidak sayang sekali. Maksudku, dia sangat menyayangiku hingga rela membelikanku barang semahal buku!

Hei aku tidak bercanda. Buku memang mahal! Apalagi buku-buku yang sudah tidak cetak. Alias, langka. Buku-buku itu harganya bisa sangat tidak manusiawi bagi kaum dompet tipis sepertiku. Iya, ya aku tahu kondisi perekonomian di kehidupanku yang sekarang memang bagus. Ish namanya juga pengalaman hidup melarat, terbawa sampai kini.

“Igor, makasih!” seruku setelah menghadiahinya kecupan di pipi. Lantas aku kabur menyambar keranjang dan siaga di rak incaranku. Kapan lagi aku bisa beli buku tanpa melihat label harga? Hahahaha kesempatan emas!

Seperti apa reaksi Igor setelah kucium pipinya?

Mana aku tahu! Mataku jelalatan ke buku! Mereka seperti memanggilku dan berkata, “Ayo, Manis. Bawalah daku pergi.” Hehehe nanti saja akan kucoba cium pipi Igor, lagi. Setelah itu akan kuperhatikan dengan teliti.

Jemariku lincah mengambil beberapa novel. Mulai dari novel bersampul biru dengan gambar kupu-kupu hitam, lalu novel dengan judul balas dendam mantan, kemudian aku lari ke bagian puisi, lanjut ke nonfiksi terkait pekerjaanku, lompat ke komik.

“...” Keranjangku sepertinya kelebihan muatan. Hehe aku tidak kuat mengangkatnya! Tolong!

“Biar mereka yang mengirimkan semua buku incaranmu,” Igor menenangkan.

Eh! Sejak kapan dia ada di sampingku? Apa begitu semangatnya diriku belanja buku hingga tidak sadar Igor sejak tadi mengekoriku?

“Kamu nggak perlu bawa semua ini,” Igor menjelaskan. “Di sini ada jasa layanan antar. Aku sudah hubungi pegawai dan bagaimana kalau kita makan malam? Kamu belum makan, ‘kan?”

Pelet Igor sepertinya sangat kuat sehingga aku tidak berkutik. Kubiarkan dia memberi intruksi kepada pegawai toko. Setelah selesai, dia menggandeng tanganku dan membimbingku menuju area lain.

“Kamu paling suka ayam goreng, ‘kan?” Igor terkekeh. “Kita makan itu saja.”

Dia bahkan masih ingat dengan hal seremeh itu? Ya ... ya aku tahu sewaktu SD bekal makan siang yang sering kubawa pasti mengandung ayam goreng. Mau bagaimana lagi? Aku lebih suka ayam goreng daripada semur daging sapi. Ayam goreng itu enak! Apalagi ayam goreng ketumbar, ayam goreng yang kemudian dibuat balado, ayam goreng serundeng, dan ayam goreng lainnya! Hidup ayam goreng!

Tempat makan yang kami pilih berada di lantai satu. Igor memesankan ayam goreng, tumisan sayur, dua botol mineral, dan jus buah. Di sini nyanyian Scarla tidak terlalu nyaring karena harus beradu dengan lagu pop yang diperdengarkan melalui pelantang suara. Orang-orang yang masuk ke sini pun terlihat santai dan sama sekali tidak keberatan dengan genre musik apa pun yang disodorkan ke telinga mereka.

Aku memotret semua makanan dan mengunggahnya ke media sosialku. Sengaja ku-tag akun media sosial milik Nadia. Hihihi agar dia tahu bahwa aku sedang bersama orang yang sangat istimewa.

“Kamu nggak tertarik memasang fotomu sendiri?” tanya Igor saat aku sudah memasukkan ponsel ke saku.

“Nggak,” jawabku, cepat. “Soalnya aku nggak suka pasang fotoku di media sosial. Ya kadang, tapi itu di media sosial milik temanku. Bukan fotoku sendirian, melainkan bersama. Ramai-ramai.”

Igor membantuku memisahkan daging dengan tulang menggunakan pisau dan garpu. Setelahnya dia mempersembahkan piring berisi daging untukku. “Kamu sangat suka buku?”

Kusantap beberapa potong daging ayam. Bumbu gurih, pedas, dan manis langsung membelai lidahku. Ditambah dengan sesendok nasi ... sempurna! Aku bisa menghabiskan dua piring nasi dengan lauk ayam goreng berbumbu rempah pedas ini!

Setelah menelan, baru kujawab pertanyaan Igor. “Nggak bisa disebut suka,” aku mengoreksi. “Karena yang kubaca pun mayoritas fiksi. Sekadar memenuhi tujuan hiburan belaka. Aku nggak baca buku karena tuntutan tertentu. Lagi pula, nggak ada yang salah dengan membaca demi melemaskan saraf otak. Hidup sudah cukup sulit, nggak perlu ditambahi dengan drama. Kalaupun ada orang yang meledekku karena nggak baca buku ‘intelek’, ya kudiamkan saja. Artinya, orang itu tidak menyerap kebijaksanaan yang tersimpan dalam buku. Bila orang suka membaca, maka ia akan berhati-hati dalam berbicara bahkan bereaksi terhadap siapa pun. Nggak masalah beda selera. Wajar.”

Ujung bibir Igor membentuk senyuman memikat. “Barangkali itulah yang membuatmu terlihat manis di mataku, ya?”

Uhuk! Hampir saja aku tersedak! Bisa-bisanya dia....

“Emm, Igor. Scarla ... emmm kenapa kamu nonton pertunjukan Scarla?”

Kesampingkan ingin menari balet karena pujian, aku butuh penjelasan Igor!

***
Selesai ditulis pada 27 Februari 2024.

***
Maaf nggak panjang. Suasana hati saya masih buruk gara-gara mimpi lihat sundel bolong! Asli! Seram! Gemetarnya kebawa sampai dunia nyata.

TUAN VILLAINKU~ (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang