Rianza Kevalino Marsrenzik anak bungsu dari 3 bersaudara, ia berusia 18 tahun, memliki seorang ayah yang menjadi ceo di perusahaan yang terkenal mlikinya sendiri. Rian tak memiliki ibu sebab ibunya meninggalkan nya kala ia berusia 5 tahun.
Drett
Drett
Bunyi ponsel membuat rian mendengus, ia menatap ponsel nya 10 panggilan tak terjawab dari sahabatnya, dengan amat malas rian mengangkat telfon nya.
"Lo dimana anjir? Gua telfon dri tadi baru di angkat so seleb lo"
Pria di sebrang sana terlihat sangat kesal akan ulah sahabatnya satu ini.
"Bcot, Rs"
"RS? Ngapain lo kesana? Bolos lo ga elit banget anjir! Kita udah nunggu lo di parkiran berjam jam tapi lo malah ga dateng² sialan gua kepanasan kulit gua gosong gara gara lo!"
"Oh" Rian mematikan sambungan nya sebelum sahabatnya mulai mereog dan membuat telinga nya sakit.
"Gmna?" Tanya rian kala melihat dokter yang memeriksa Amara keluar dari ruangan nya, ya rian adalah orang yang membawa Amara ke rs.
"Pasien mengalami demam tinggi yang membuat nya pusing, selain itu kedua pipi anak kecil itu terlihat memar dan ternyata itu adalah bekas tamparan yang sangat kuat, saya menyarankan agar pasien di rawa di sini selama dua hari dan anda harus memastikan ia memakan makanan yang sehat" Ujar sang dokter.
Tamparan? Heh siapa yang berani menampar adik nya? Apakah dia cari mati? Rian mengepalkan kedua tangan nya erat.
"Ya" Dengan enteng nya rian langsung masuk kedalam ruangan nya meninggalkan sang dokter yang berdiri menatap kedepan dengan cengo.
"Sialan untung tuan sendiri" Gumam sang dokter.
"Agh pengen ngundurin diri lah gua".
"Gini amat punya tuan huh".
Dokter itu sedari tadi mendumel tak jelas, membuat sang asisten menatap nya heran " apa anda sudah gila dok?' Tanya asisten nya membuat dokter itu menatap nya sinis.
Rian masuk kedalam ruangan Amara dan melihat gadis kecil itu yerbaring dengan bibir yang pucat, ia duduk di kursi tepat di samping Amara.
Rian menatap Amara dengan lekat dan mengelus rambut Amara "Siapa lo? Knapa gua bsa langsung sayang sama lo?" Gumam rian, ya dia jatuh cinta pada pesona Amara ambisi ingin memiliki Amara menjadikan gadis kecil itu adiknya muncul secara tiba-tiba.
Rasa sayang dalam dirinya yang tak pernah ada, tekad nya yang ingin melindungi dan menggenggam tangan kecil Amara, gadis kecil itu seperti magnet yang mampu menarik nya keralam pesona Amara.
"Penyihir kecil?" Kekeh rian.
"Eughh" Amara melenguh pelan, mata bulat nya secara perlahan terbuka, ia mengerjabkan matanya beberapa kali untuk menyesuaikan penglihatan nya.
"Sudah bangun?" Tanya rian sambil menatap Amara.
"Hum cudah, apy lala agy dimana?" Tanya Amara sambil memiringkan kepalanya.
"Rumah sakit" Rian memalingkan wajahya kesampaian pipi nya memeraj melihat tingkah Amara yang menggemaskan baginya "sialan so cute!"
"Lumah cakit? Tu apa? Lumah na becal cekali kacul na uga mpuk!" Amara menatap ruangan nya yang besar dengan mata yang berbinar senang juga dirinya bisa tidur di kasur yang empuk biasanya ia akan tidur di lantai dengan beralasan karung bekas.
"Besar? Ini bahkan sangat kecil di bandingkan dengan mansion punya dady".
"Enak banet tidul di kacul xixi" Amara terkikik geli.
"Apa adek baru pertama kali tidur di kasur?" Tanya rian heran, lantas jika Amara tak tidur di kasur dimana ia tidur pikirnya.
"Hehe iya lala tidul na di yantai pake kalung belas" Ujar Amara membuat rian tanpa sadar menajamkan penglihatan nya dan mengepalkan kedua tangan nya.
"Karung beras? Apa di rumah mu tak ada kasur?".
"Ada iman uat akak, ugh tepala na cakit pucing" Amara memegang kepalanya yang berdenyut sakit.
"Tdur lah dlu supaya sakit nya hilang" Titah rian sambil mengelus Kepala Amara.
"Um akak ciapa? Thenapa baik cama lala?" Tanya Amara sebari melihat rian dengan tatapan lucu nya.
"Rianza, panggil bang rian ya nama adek lala?"
"Ndak ama lala itu amala di panggil lala, lala na pake lllll" Ujar Amara dengan mimik yang menggemaskan.
"Amala? Lala?" tanya rian menjahili Amara.
"Ukan iss! Apy lala" Amara menekuk alisnya seolah ia sedang kesal namun hal itu justru membuat rian gemas akan tingkah nya.
"Hhha iya rara kan?"
"Nah iyahh hehehe" Amara bertepuk tangan riang.
"Yaudah rara tdur ya biar cepet sembur bang rian bakal jagain".
"Othey bang ian!" Amara mulai memejamkan matanya dan mulai menjelajahi mimpinya.
"Bang ian?" Aghhhh lucu banget ingin sekali rian membanting semua orang karna rasa senangnya.
"Lo milik gua Amara, gua yakin lo bakal jadi adik dan kesayangan keluarga kelviano" Ujar nya.
"Ga peduli lo masih pnya keluarga ataupun enggak, gua akan rebut lo dan bkin orang yang nyiksa lo menjerit kesakitan di bawah kaki gua" Ujar rian dengan ambisi yang kuat.
"Ah udah lama gua ga bunuh orang" Mata rian berkilat merah rasa ingin membunuh kembali hadir dalam dirinya.
"Amara, Amara, ga akan gua biarin orang rebut lo dari gua, lo adik gua, penyihir kecil" Rian terkekeh pelan sembari menutup menutup wajahnya pipi nya bersemu merah membayangkan wajah Amara yang begitu menggemaskan.
Dari dulu rian memang ingin memiliki adik perempuan, tapi apalah dayanya harapan nya harus pupus kala ibunya yang tak kunjung pulang.
Gimana part ini?
Next? Jngan lupa vote ya seng😸
KAMU SEDANG MEMBACA
Amara
General FictionAmara lovita gadis kecil berusia 4 tahun yang harus banting tulang untuk kedua kaka tirinya. Si kecil penjual risol yang ingin memiliki hidup bahagia dan di sayangi orang di sekitarnya. Hidup yang selalu dijadikan budak uang oleh kedua kakanya, caci...