~Author
Terlalu banyak alasan, tentang mengapa akhirnya seseorang memilih hilang. Tapi bukankah untuk merindukan seseorang, kita tak butuh alasan? Banyak yang sudah berlalu, tapi banyak juga yang tidak bisa menjauh. Di dunia ini, siapapun punya hak untuk tinggal dan meninggalkan. Tapi di dunia ini juga siapapun memiliki kesempatan untuk menetap dan menempati.
Rumah yang dulunya mungkin jadi satu-satunya tujuan setiap kali pulang, mungkin sekarang sudah banyak berubahnya. Mungkin halaman depannya masih sama, tapi ia tak pernah tau siapa penghuninya yang sekarang. Ia bisa saja pergi jauh dari sana, tapi memangnya menghapus kenangan bisa sama mudahnya dengan hanya pergi dari sana?
Dan nyatanya, sejauh apapun larinya, pikirannya kadang masih tertinggal di sana. Tentang bagaimana makan siangmu hari ini, tentang apakah tidurmu lelap malam ini, hingga tentang siapa yang tangannya kau genggam sekarang ini. Kadang ia memang sudah pergi jauh dari sana, tapi kadang juga rasanya jiwanya masih ada di sana.
Ia akui, mungkin memang ini rasanya rindu yang tidak boleh. Bukan juga ia ingin kembali ke rumah itu. Tapi setiap semua orang sedang pergi dan sisa ia sendirian, isi kepalanya ini isinya hanya kamu.
.
.
.
Malam pun tiba, Alea belum juga pulang ke rumah. Orang tuanya yang ada di rumah menunggu kepulangan anak perempuan nya tersebut. Sementara Alea, ia berada di tepi danau, merenungi kepahitan yang ada di kehidupan nya. Tak berselang lama kemudian turunlah hujan, ia tak peduli jika hujan tersebut membasahi baju seragam yang masih ia kenakan. Ia hanya ingin tenang dengan adanya hujan yang terus membasahi tubuhnya.
Kemudian ia mengambil ponsel nya yang berada di dalam tas, ia melihat siapa yang mengirimkan nya pesan. Ternyata itu adalah Adiknya. Ia tak menggubris hal tersebut. Ponsel nya kembali di matikan.
"Maaf kalau aku belum cukup baik, mungkin memang aku tidak baik untukmu. Karena seberusaha apapun aku untuk menjadi yang terbaik, semesta menolakku untuk tetap di bersamaimu."
Tak terasa air mata turun ke pipinya, bersama dengan hujan yang juga membasahi pipinya. Ia teringat kembali momen dimana dirinya dan temannya tersebut menghabiskan waktu bersama dengan bermain hujan sampai lupa waktu. Mengingat tentang hal tersebut, air matanya kembali menetes.
"Lalu bagaimana jika sekali lagi aku katakan, bahwa bersamamu itu adalah mimpi terbesarku. Apa kamu bisa tetap disini saja?"
Jam menunjukkan pukul 8 malam. Setelah hujan mulai mereda, Alea segera bergegas pergi dari tepi danau tersebut. Ia memutuskan untuk pulang ke rumah. Di tengah perjalanan, ia tak sengaja melewati tempat yang sering di kunjungi bersama Andin dulu. Melihat tempat tersebut, memori kebersamaan itu terputar di otak nya yang membuat air matanya kembali membasahi pipinya.
Baginya pulang dengan pipi merah dan basah karena air mata itu sudah biasa, kadang waktu di tengah keramaian pun yang tadinya ia baik-baik saja, ia bisa sedih tiba-tiba. Sedih karena teringat sama yang sudah-sudah, sedih karena teringat dengan penyesalan dan hal-hal yang tak bisa ia perbaiki lagi.
"Apakah mungkin 2 tahun lagi kita akan terus seperti ini? Apakah mungkin kita masih bisa tertawa dengan alasan yang sama? Apakah kita masih bisa tersenyum dan sejenak lupa bahwa terkadang takdir berjalan se bajingan itu?"
Ia tak akan pernah tau akan teka-teki itu.
Sesampainya ia di rumah, ia segera memarkirkan kendaraan nya dan segera masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah terdapat Ayah dan Ibunya yang masih menunggu anaknya pulang. Alea tak menghiraukan keberadaan orang tuanya. Ia segera masuk ke kamarnya.
Di luar kamar, terdengar seseorang yang mengetuk pintu kamarnya.
"Nak.. Mama masuk yaa" Terdengar suara Ibunya yang akan membuka pintu kamarnya.
"Iya Ma, masuk aja"
"Dari mana saja kamu nak.. Ibu khawatir nunggu kamu nggak pulang-pulang dari sore tadi. Alea ada masalah? Coba cerita ke mama, barangkali mama bisa bantu" Tanya Ibunya Alea yang merasa khawatir terhadap anaknya.
"Ga ada apa-apa kok ma.. Alea gapapa. Alea mau istirahat"
"Tapi mama lihat kamu masuk rumah tadi kelihatan mata kamu sembab, Alea habis nangis?" Tanya Ibunya yang menyadari mata anaknya sembab seperti habis menangis. Tetapi Alea berusaha menutupi semuanya supaya Ibunya tidak khawatir memikirkan dirinya.
"Emm.. Nggak kok ma, Alea cuma kecapekan saja, Alea ngantuk ma, Mama boleh keluar?" Jelas Alea. Kemudian Ibunya segera bangkit dari duduknya sambil mengusap kepala anaknya, lalu pergi keluar membiarkan anaknya sendiri.
"Maafin Alea Ma.. Alea harus bohong ke mama" Lirih nya sambil menatap punggung Ibunya yang keluar menuju pintu kamarnya.
Setelah itu, ia segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya yang masih basah karena terkena hujan. Di kamar mandi, Alea masih saja menangis memikirkan alur hidupnya yang tak tau kemana arahnya untuk ia bisa sejenak bahagia, tanpa adanya seseorang yang sedang ia pikirkan saat ini.
Hujan masih saja turun deras dan menimbulkan suara petir yang begitu keras. Alea merebahkan dirinya diatas kasur, lampu yang awalnya ia matikan, lalu ia nyalakan kembali.
Mengambil sebuah buku diary yang ia letakkan di atas meja belajar, dan menuliskan sesuatu yang ia rasakan saat ini. Lagi-lagi tentang temannya itu.
"Bagaimana jika aku katakan bahwa bersamamu itu jauh lebih baik? Di banding tidak sama sekali. Bagaimana jika ku katakan bahwa denganmu, aku tenang dan aman? Bahkan sepatah-patahnya aku karena keadaan yang terkadang tak berpihak. Jujur aku masih ingin di bersamakan olehmu. Saat terasanya terlalu sulit untuk berkompromi dengan dunia. Kamu mengajakku bangkit dan berlari bersama."
"Jika suatu saat kamu ingin kembali, kembalilah. Aku akan selalu menerimamu. Jangan pernah berfikir kalau aku tidak akan menerimamu lagi" Lirih nya, kemudian menutup buku nya tersebut dan kembali merebahkan dirinya.
Tak lama ia pun terlelap dalam tidurnya. Jadi seperti di awal, ia hanya takut kehilangan. Seperti bintang yang rindu akan adanya malam, bintang terlihat bersinar terang. Seperti padi yang rindu akan hujan, tanpa hujan padi pun sulit untuk bertumbuh. Seperti kembang api yang rindu akan perayaan, kembang api merasa di butuhkan.
Juga seperti nasi yang rindu dengan adanya lauk. Tanpa lauk, nasi saja tak akan lengkap. Dan seperti Alea yang rindu akan adanya Andin. Tanpa Andin, ia merasa hampa dan kehilangan. Hingga Andin datang dan kembali bersamanya. Alea akan terus menunggu kehadirannya kembali. Bersama rindu yang menemaninya saat ini.
Happy Reading..
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTAKU
Teen Fiction~Semestaku~ Aku selalu ingin bicara denganmu Mungkin tentang rindu yang ada di telapak tanganku ini Rindu yang hanya bisa aku genggam Dan aku berharap, semoga kamu juga merasakan hal yang sama denganku Ada banyak hal yang aku favoritkan di dunia ini...