2. Asking For Direction

52 20 24
                                    

Siapa pun pilihanmu, semoga menjadi pemimpin yang benar-benar mempunyai jiwa kepemimpinan untuk tanah air!!

Jangan berantem karena beda pilihan. Kesel banget sampai dikatain "Bukan orang Islam" sama saudara besar hanya karena beda pilihan (┛◉Д◉)┛彡┻━┻

***

"HAZEL! GUE MALU BANGET!" Aster menelungkupkan wajahnya ke ransel yang ia bawa. Ke Mall bukannya bawa tas cantik malah bawa ransel. "Masih inget banget gue sama ekspresinya pas ngomel! Mana muka gue basah gara-gara dia ngoceh sambil muncrat."

Sedangkan Hazel sibuk menyendokkan es krim ke mulutnya. "Punya lo mencair, buat gue, ya?"

Dengan sigap, Aster bangun lalu menyeret gelas es krim ke dalam dekapannya. "Lo kejam banget. Katanya pakai baju merah, tapi nyatanya pakai warna item! Pokoknya jahat banget temennya dijadikan sesajen ke bencong!"

"Sesekali gue kerjai lo. Gue terlanjur kesel sama sifat pikun yang lo pelihara."

"Sekarang gue yang kesel!"

"Udah gue traktir es krim masih aja lo ngedumel. Impas, kan?"

Masih dengan wajah cemberut, Aster terlanjur tergoda dengan es krim di hadapannya. Akhirnya dengan kata terpaksa, Aster ikut makan es krim walau tetap bete.

"Ah, elah, gue niatnya minta lo ke sini buat bantu cari kebaya. Malah berujung ke toko es krim, kan," dengus Hazel. Rencana dietnya gagal karena bocah ini.

"Healing dulu, ah. Sumpek gue di rumah."

"Ortu lo lagi?"

"Sebel banget, gue. Tiap hari yang diurusi pekerjaan mulu, anaknya kayak lukisan Monalisa, cengok doang."

"Terlalu sayang anak, berarti. Mereka kerja terus biar hidup lo mewah."

"Iya, saking sayangnya sampai overwork, gak bisa datang ke acara sekolah besok."

"SERIUS, TER?!"

Aster mengangguk. "Dulu gue fine-fine aja sama kesibukan mereka. Tapi makin ke sini, menurut gue terlalu berlebihan. Kantung matanya aja lebih item dari panda."

"Lo gak mau bicara empat mat– eh, enam mata sama mereka?"

"Susah, Zel. Undang mereka buat berbincang tuh setara sama undang Taylor Swift ke pesta ulang tahun gue. Impossible." Aster memainkan es krim yang mulai mencair. "Gue ragu banget harus ikut ke acara atau enggak."

"Ya harus, lah! Gak usah ragu, rugi kalau lo gak ikut! Nanti muka lo gak ada di album sekolah." Hazel menepuk pundak Aster. "Tenang, lo ikut sama bokap gue aja. Pas acara tumpeng, bokap gue yang suapi nasi ke kita berdua."

"Ogah! Ini kan sungkeman!"

"Gak apa-apa, kan yang diharapkan datang itu lo, bukan orang tua lo."

"Anak-anak bakal ngira kita adik-kakak, Sukro!"

"Gak apa-apa, lo jadi adik tiri gue. Kebetulan bokap gue duda, nyokap lo gimana?"

"Sialan!"

Drrrtttt ...

Argumen mereka terhenti karena ponsel Hazel berdering. "Siapa?"

Hazel mengecek. "Panjang umur. Nih, si bapak negara telepon. Gue cari tempat sunyi dulu, ya, di sini berisik."

Aster mengiyakan. Hazel pun meninggalkan Aster sendirian di sana. Selang beberapa menit kemudian, ada lelaki bermata biru yang sepertinya sedang dilanda kebingungan. Aster memperhatikannya, lelaki itu membawa selembar kertas. Wajahnya pun terlihat familiar.

Aster & WisterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang