V

7 0 0
                                    

V. Yang Bersembunyi di Balik Tawa

"Ah, Aura ...."

Aura berani bersumpah bahwa Samuel sangat terkejut ketika melihatnya muncul. Pemuda berdarah Batak itu minta diri pada teman-temannya, lalu berjalan mengikuti Aura ke bangku taman di bawah pohon beringin yang tumbuh di pekarangan fakultas hukum. Kartika ingin mengikuti, tetapi Aura memberi isyarat padanya agar membiarkan mereka bicara berdua saja. Sikap canggung Samuel membuat Aura bertanya-tanya. Seberapa banyak pemuda itu tahu soal Aidan? Akankah ia memperoleh sesuatu, atau hanya menemui jalan buntu dan membuang waktu?

Aura menempelkan punggung ke sandaran bangku dari besi tempa itu. Dingin. Akar gantung beringin menggelitik dahi dan puncak kepalanya. Dahulu, ia benci tempat itu. Suasananya seram di malam hari dan suram di siang hari. Sekalipun ia dapat mafhum atas kebiasaan-kebiasaan lain Aidan, ia tak pernah paham mengapa Aidan betah berlama-lama duduk di bawah pohon yang konon usianya lebih tua daripada bangunan Universitas Angkasa itu. Kini pun ia tak dapat menemukan kenyamanan di sana. Hening yang menggantung antara Samuel dan dirinya sungguh menyesakkan dada.

"Apa kamu penasaran kenapa Aidan tiba-tiba memilih drop out? Lucu, aku baru mau membicarakan hal yang sama denganmu," tutur Samuel memecah keheningan. Jemari pemuda itu menyugar rambut tebalnya. "Aku cuma tahu dia ngajuin surat pengunduran diri ke dekan kurang lebih seminggu lalu. Profesor Marina sudah mencoba melarang, tetapi Aidan tetap kukuh mau keluar. Aku ingat dia sempat bicara lama dengan Profesor Marina, sampai pengunduran dirinya akhirnya diterima. Tapi, dia nggak pernah bilang alasan sebenarnya dia keluar."

"Apa mungkin kesulitan ekonomi?" gumam Aura lirih. "Rasanya nggak mungkin. Keluarganya terbilang menengah ke atas, kan? IPK Aidan juga selalu bagus. Kalau dia mau, aku yakin dia bisa minta beasiswa penuh dari kampus. Aku cuma nggak suka dia mengambil keputusan sebesar ini tanpa berkonsultasi denganku dulu."

"Percayalah, Aura, aku tahu kita nggak begitu kenal satu sama lain, tapi aku yakin kita berdua sama-sama mengenal Aidan yang sama. Bahkan dengan kami, teman-teman seangkatannya, dia cenderung tertutup. Terkadang aku nggak tahu apa yang lagi dia pikirin. Satu yang aku tahu, Aidan selalu ngutamain kebahagiaan orang-orang yang dia sayang. Dia selalu rela kerja keras demi keberhasilan tugas kelompok kami. Tiap kali ada yang kesulitan keuangan, dia nggak segan-segan ngutangin biarpun dia nggak tahu kapan orang itu bisa ngebayar balik. Jadi, biarpun aku nggak setuju sama tindakan Aidan yang ninggalin kamu tanpa penjelasan, aku yakin Aidan nggak sebrengsek yang mungkin kamu pikirkan."

Aura mengangguk-angguk pelan mendengar cerita Samuel. Tangannya meremas pegangan tote bag kanvas berisi perlengkapan kuliahnya erat-erat. Makin banyak ia mendengar pendapat orang lain tentang Aidan, makin ia tak mengerti mengapa pemuda itu perlu menghilang. Andai Aura mendengar bahwa Aidan ternyata suka berjudi, diam-diam menjadi pecandu narkoba, atau mempunyai hobi ilegal lain, gadis itu akan maklum apabila pemuda itu ternyata telah terseret masalah yang mengharuskannya kabur menyelamatkan diri.

Namun, sekarang ....

"Jadi, dia sama sekali nggak pernah cerita apa-apa ke kamu?" Aura menatap mata hitam Samuel lekat-lekat. "Kupikir mungkin ada hal-hal yang nggak berani dia ceritakan ke aku karena dia takut aku khawatir. Tapi, kamu sahabatnya. Kukira sesama cowok biasanya lebih terbuka satu sama lain."

Samuel menghela napas panjang. Pemuda itu menyelonjorkan kaki, lalu menyandarkan punggung ke bangku. Matanya nanar menatap dedaunan rimbun yang menaungi mereka. Sinar matahari hampir tak dapat menembus kanopi beringin tua itu. Beberapa ekor burung gereja hinggap di ranting-rantingnya. Bunyi kicau burung riuh semarak. Sesaat kemudian, pemuda itu menggeleng pelan.

"Kalau diingat-ingat, beberapa hari sebelum mengundurkan diri dari kampus, Aidan pernah mengajakku bertemu tengah malam. Kami nongkrong bersama sambil menumpang wifi di warkop. Macam-macam yang kami obrolin, mulai dari bola sampai politik, tapi aku tahu kalau dia lagi banyak beban pikiran. Makin semangat dia bicara soal hal-hal random, berarti makin banyak yang dia pikirin. Hari itu, setelah kami kehabisan topik obrolan, dia bertanya soal cara terbaik buat ninggalin kamu tanpa membuat kamu sakit hati terlalu dalam."

"Apa? Kenapa?" Aura mengerjap. Hatinya serasa ditikam. Jadi Aidan sudah merencanakan semua ini? Apa yang salah dalam hubungan mereka? Bukankah semuanya baik-baik saja?

Atau, apakah selama ini hanya Aura yang terus-menerus menipu diri bahwa hubungan mereka baik-baik saja, sedang Aidan sudah sejak lama memilih untuk melihat kebenaran?

"Dia .... Entah karena alasan apa, dia takut nggak bisa ngebahagiain kamu, Aura. Oleh karena itu, sebelum segalanya hancur, dia memilih pergi saat semuanya masih berjalan lancar."

* * . ° • * . ☆ .° . ° •* ° • * . ☆ .° . ° •*

After You Were Gone [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang