VIII

6 0 0
                                    

VIII. Upaya untuk Bangkit Perlahan

Dasar idiot.

Kata-kata itu muncul tanpa permisi di benak Aura seraya ia membuka mata. Sinar mentari Surabaya menembus jendela dan jatuh tepat di wajahnya, memaksa gadis itu bangun dari tidur. Semalam, ia lupa menutup tirai. Tiga hari sudah berlalu semenjak insiden cermin pecah. Tiga hari pula ia bolos kuliah lantaran enggan menjelaskan asal luka-luka di lengannya pada kawan-kawannya. Ratusan pesan dan telepon dari teman-teman kuliah sudah memenuhi ponselnya, tetapi tak satu pun ia balas.

Jadi ini rasanya menghilang, ya? Sial, aku mulai jadi sepertimu, Aidan.

Masih di kasur, Aura berguling menghadap tembok. Ia telah menata ulang foto-foto polaroid di dinding, hingga hanya foto yang jelas menampakkan wajah Aidan-lah yang menghadap tepat ke mukanya apabila ia berbaring di ranjang. Telah ia hapalkan setiap sentimeter lekuk muka sang kekasih. Telah ia putar ulang momen-momen kebersamaan mereka berkali-kali dalam benak. Kini, telah ia putuskan bahwa sudah tiba saatnya untuk kembali bangkit.

Gadis itu beringsut bangun. Sambil menguap lebar, ia luruskan punggung yang kaku. Rambutnya sudah berminyak dan berantakan setelah sekian hari tidak disisir. Maka, ia putuskan untuk keramas. Usai membersihkan diri, ia keluarkan salah satu gaunnya yang terbaik. Gaun berlengan panjang itu sewarna lembayung senja, jatuh sempurna membungkus tubuh langsingnya sampai tepat mencapai lutut. Hari itu tidak ada kelas praktikum. Ia bisa bebas memakai baju apa saja tanpa terbentur protokol keamanann laboratorium.

Kemudian, berbekal kamera depan ponsel sebagai ganti cerminnya, mulailah Aura berdandan. Kotak make up melambai-lambai di sudut meja rias. Tak pernah lagi Aura menyentuh isinya semenjak kepergian Aidan. Hari ini, kembali ia berdandan. Kuas maskara terasa kaku dan asing dalam genggaman. Aroma parfum menggelitik indra penciuman. Namun, untuk pertama kalinya, Aura kembali merasa cantik. Cantik bagai makhluk surgawi yang baru saja terlahir kembali, cantik bagai teratai merah jambu yang saban hari mekar di kolam kampus, cantik bagai kupu-kupu muda yang merayap keluar dari dalam kepompong. Tatkala ia melangkahkan kaki ke kelas, puluhan pasang mata spontan menatap heran.

"Aura! Kamu selama ini ngapain aja, sih? Akhirnya balik juga kamu ya!" Kartika langsung melompat menghampirinya. "Kami semua bingung, lho!"

"Maaf ya, aku agak kurang enak badan beberapa hari lalu. Makanya aku nggak baca chat. Ngomong-ngomong, gimana keadaan kelas selama aku nggak masuk? Ada kejadian seru, nggak? Aku ketinggalan materi apa saja?"

Sambil terus mencerocos, Aura menarik kursi di samping sahabatnya. Ia duduk, mengeluarkan alat tulis, merapikan gaun, menata buku tulis, dan terus bergerak. Selama itu pun ia tak henti mengajak sahabatnya berbicara tentang apa saja yang terlintas di kepalanya. Kartika sampai kewalahan menanggapi. Selagi masih ada sisa waktu lima belas menit sebelum dosen tiba, buru-buru ia hentikan ocehan Aura yang melaju tiada putus bagai kereta.

"Stop, Aura. Berhenti dulu." Kartika menatap gadis berambut panjang itu lekat-lekat, lalu berdiri dan mengedikkan kepala. "Ikut aku sebentar, mumpung Pak Wahyu belum datang."

Kedua dara itu berjalan ke balkon belakang gedung FG. Pagi itu, tiada insan di balkon. Hanya angin sepoi-sepoi yang menemani mereka, serta sapu ijuk butut yang bersandar lunglai di tembok. Kartika bersedekap. Ketidaksukaan tersirat di wajahnya.

"You're not really okay, aren't you?" todong Kartika. "Bukan begini Aura yang aku kenal. Nggak pernah kamu dandan seperti ini ke kampus, atau bicara sebanyak tadi."

"Kalau aku bersikap biasa saja hari ini, kayaknya nggak mungkin aku bisa tahan berada di kampus, Kar." Tawa getir terlepas dari bibir Aura. "Terlalu banyak kenangan di kampus ini. Aku sadar kalau usahaku nggak ada gunanya, tapi aku butuh waktu buat benar-benar melepaskan Aidan. Jadi, sampai saat itu tiba, tolong sabar sebentar, ya? Maaf aku sempat ngebentak kamu waktu terakhir kali kita ketemu."

"Oke, Ra. Ambil waktu selama yang kamu butuhkan. Maaf, nggak seharusnya juga aku maksa kamu untuk cepat-cepat ngelupain dia. Kalau kamu butuh seseorang buat diajak bicara, atau cuma buat menemani kamu supaya nggak sendirian, aku siap menemani." Kartika tersenyum lembut. "Jadi, gimana kalau kita nyobain croissant dari bakery baru di samping Indomaret nanti siang? Teman-teman bilang rasanya enak."

"Boleh. Aku juga butuh tempat makan baru selain Kafe Kejora." Aura balas mengangguk. Semangat terpancar dari matanya yang sembab. "Ayo balik ke kelas sekarang! Sepertinya aku barusan lihat mobil Pak Wahyu parkir di bawah."

* * . ° • * . ☆ .° . ° •* ° • * . ☆ .° . ° •*

After You Were Gone [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang