"Jika aku menghilang dari dunia ini, apakah orang-orang akan mencariku? Apakah orang-orang akan mencariku karena sebuah penyesalan? Atau mereka mencariku hanya karena sebatas rindu akan penderitaanku?"
...
— Luna Raelyn Anastasia —
Dengan langkah yang ringan, aku turun dari motor yang telah membawaku hingga ke depan sebuah tempat laundry. Tas besar yang berisi pakaian kotor pun kini telah berada di genggamanku. Setiap langkahku menuju pintu masuk terasa begitu berat, seakan-akan beban pikiranku juga ikut menumpuk di dalam tas ini.
Ketika hampir sampai di ambang pintu, langkahku terhenti. Ponselku bergetar dengan riuh rendah, memotong keheningan pagi. Aku merogoh tas selempang ku dengan gerakan yang agak kaku, dan mengeluarkan ponselku. Layar kecilnya menerangi wajahku dengan panggilan masuk dari Devon.
Tak perlu berpikir panjang, aku tahu mengapa Devon meneleponku di pagi yang masih redup ini. Ponselku telah mati sejak semalam, ketika kesedihan menghimpit ku hingga aku terlelap dalam tidur yang penuh kekosongan.
Aku memandang layar ponsel dengan perasaan campur aduk, sebelum akhirnya menekan tombol hijau untuk menerima panggilan tersebut. Aku sudah siap, siap menerima kemarahan yang akan disampaikan Devon dengan suaranya yang keras.
"Astaga, Luna. Dari mana saja kamu?" Terdengar suaranya yang penuh emosi di seberang sana.
Dengan mata terpejam, aku meresapi suara Devon yang mengalir masuk ke telingaku.
"Maaf, Dev. Aku ketiduran semalam," ucapku dengan jujur.
Devon mengeluarkan suara mendengus yang penuh dengan ketidakpercayaan. Aku tahu dia tidak akan mudah percaya pada penjelasan sederhanaku. Devon adalah tipe orang yang selalu meragukan segala alasan yang kuberikan.
"Sekarang kamu di mana?" tanyanya dengan nada penasaran.
"Aku di tempat laundry. Aku ada shift pagi," jawabku dengan suara rendah.
"Aku udah bilang, kan? Ga usah part time lagi!" serunya dengan suara yang meninggi.
Aku hanya bisa menghela napas dalam-dalam. Aku tidak bisa memahami pola pikir Devon yang terlalu protektif dan cemburuan seperti ini. Apa yang ada di dalam otaknya sehingga hanya terpikirkan ribuan pikiran buruk untukku?
"Masih pagi, Dev. Aku gak mau bahas hal gak jelas kayak gini," ujarku dengan sedikit kesal.
Tanpa menunggu tanggapan dari Devon, aku menutup teleponnya dengan sepihak. Aku merasa begitu lelah menghadapi sifat Devon yang selalu seperti ini. Dia tidak akan pernah mengerti mengapa aku mengambil pekerjaan ini. Dia yang sudah berkecukupan, tak akan tahu apa yang sebenernya tengah aku kejar. Ini semua bukan hanya untukku, tapi untuk mereka, keluargaku.
Langkahku melambat saat aku kembali memasuki pintu tempat laundry. Suara langkahku menjadi hampir tidak terdengar di antara keheningan pagi yang menyelimuti ruangan.
Ketika aku sampai di dalam, sorot mataku langsung tertuju pada Bu Lestari yang sedang asyik berkutat dengan tumpukan pakaian yang tersusun rapi di atas meja. Dengan langkah-hati, aku mendekatinya.
"Pagi, Bu," sapaku.
Bu Lestari membalikkan tubuhnya dengan gesit, senyumnya hangat menyambut kedatanganku.
"Pagi, Luna. Mau laundry sekalian?" tanya Bu Lestari sembari menyelipkan tatapan singkat ke arah tas yang ku tenteng.
"Iya, Bu. Luna belum sempat mencuci baju di rumah," jawabku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang ke Pelukan Senja (On Going)
Ficção AdolescenteLuna, seorang wanita yang terjebak dalam labirin kehidupan yang penuh tekanan dan toksisitas. Dari lingkungan keluarga hingga pertemanan yang tidak sehat, ditambah dengan hubungannya dengan sang kekasih yang dipenuhi pertikaian, membuatnya merasa te...