– Pulang ke Pelukan Senja –Senin telah tiba, dan aku kembali dihadapkan pada rutinitasku yang padat—pergi ke kampus dan bekerja paruh waktu. Hari ini terasa berbeda karena kelas kami akan melakukan kunjungan yang sangat dinantikan. Kami akan mengunjungi perpustakaan dan arsip yang menyimpan koleksi naskah, manuskrip, dan buku-buku langka yang berkaitan dengan sastra Indonesia. Kunjungan ini sangat penting bagi kami untuk mendalami materi kuliah dan memahami lebih dalam tentang perkembangan sastra di tanah air.
Pukul 7 pagi, kami harus sudah tiba di kampus. Kami akan berangkat bersama menggunakan bus yang telah disediakan, dan semua sudah siap dengan antusiasme yang tinggi. Semoga saja kunjungan ini memberikan wawasan baru dan inspirasi bagi studi kami.
Semua bebas untuk memilih tempat duduk, dan aku pikir tidak akan ada kata berebut lagi karena kami sudah bukan anak-anak. Namun, ternyata semua berdesakan saat memilih kursi yang akan diduduki selama perjalanan dua jam ke depan. Aku memutuskan untuk mengalah dan membiarkan teman-temanku memilih terlebih dahulu. Saat semua sudah duduk, hanya aku yang masih berdiri di lorong bus. Ada dua kursi kosong yang tersisa, dan aku memilih untuk duduk di dekat jendela.
"Apa semua sudah naik?" tanya dosen kami, Pak Danu.
"Benny belum, Pak. Sebentar lagi sampai," jawab Sean.
"Baiklah. Kita tunggu sebentar," kata Pak Danu sembari tersenyum.
Sementara menunggu Benny, suasana bus cukup riuh dengan percakapan teman-teman. Aku hanya diam, tidak memiliki teman duduk, dan hanya bisa menguping pembicaraan mereka sembari menatap ke luar jendela. Suara gelak tawa dan obrolan ringan teman-teman terdengar samar-samar di telingaku. Aku merasa sedikit terasing, mengingatkan pada betapa sunyinya saat tidak ada seseorang yang duduk di sampingku.
Tak lama kemudian, Benny muncul dengan tergesa-gesa. "Maaf, Pak. Saya terlambat," ujarnya, nafasnya terengah-engah.
"Tidak apa-apa, Ben," jawab Pak Danu dengan ramah.
Benny tampak mengedarkan pandang, mencari kursi kosong. Aku meliriknya dengan harapan agar dia tidak memilih kursi sebelahku. Namun, tampaknya yang tersisa hanya kursi sebelahku. Tanpa kata, Benny duduk di sebelahku dan segera memasang earphone di telinganya. Aku sedikit bergeser untuk memberi sedikit ruang, merasa canggung karena aku yakin Benny dan beberapa teman lainnya mungkin tidak begitu nyaman berada dekat denganku. Entah apa penyebabnya, aku tak benar-benar mengerti.
Author POV
Perjalanan dimulai. Bus yang ditumpangi mahasiswa Sastra Indonesia tersebut mulai meninggalkan area kampus. Musik pop terkini diputar untuk menghidupkan suasana dan menjaga agar perjalanan yang cukup panjang tetap ceria. Namun, Luna, seorang perempuan berusia 21 tahun, hanya menatap ke luar jendela tanpa memperdulikan keseruan di dalam bus. Di genggamannya terdapat sebuah ponsel pintar, sementara di pangkuannya tergeletak tas yang berisi buku dan beberapa camilan.
Di sisi lain, Benny, seorang laki-laki yang duduk di samping Luna, memejamkan matanya sembari mendengarkan lagu melalui earphone-nya. Ia merasa bosan karena tidak tahu harus berbicara dengan siapa, apalagi karena teman duduknya adalah Luna. Luna adalah perempuan yang selama ini mendapat perlakuan buruk dari teman sekelasnya, termasuk dari Benny sendiri.
Luna dikenal sebagai anak terpintar di kelas. Ironisnya, justru kecerdasannya menjadi alasan teman-teman sekelasnya membully-nya. Mereka ingin menjatuhkan mental Luna dengan harapan dapat mengganggu kemampuan belajarnya. Namun, tahukah kalian bahwa bullying adalah tindakan yang sangat salah? Melakukan bullying sama saja dengan merampas kebahagiaan, ketenangan, harapan, bahkan nyawa si korban. Tindakan ini bukan hanya mencerminkan ketidakadilan, tetapi juga kekejaman yang berdampak mendalam pada kehidupan seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang ke Pelukan Senja (On Going)
Ficção AdolescenteLuna, seorang wanita yang terjebak dalam labirin kehidupan yang penuh tekanan dan toksisitas. Dari lingkungan keluarga hingga pertemanan yang tidak sehat, ditambah dengan hubungannya dengan sang kekasih yang dipenuhi pertikaian, membuatnya merasa te...