Awalnya

306 28 4
                                    

Haechan itu masih muda, masih dewasa awal. Hal itu terbesit di pikiran Mark Lee sebelum menikah dengan Haechan.

Menikah artinya harus mampu dan sanggup menjalani berbagai tanggung jawab rumah tangga. Mark meragukan Haechan saat pertama kali mereka tatap muka. Mark pikir Haechan adalah anak muda ibukota yang masih nakal-nakalnya. Masih butuh waktu untuk menikmati usia mudanya.

Hal yang pertama kali terbesit di pikiran Haechan adalah Mark hanya seorang dosen yang taunya cuma ketaatan. Haechan pasti disuruh nurut senurut-nurutnya kalau menikah dengan Mark.

Belum berkenalan jauh saja sudah saling berpikir negatif. Pikiran-pikiran jelek memenuhi otak keduanya. Bagaimana tidak? Mereka itu bukan orang yang pernah kenal, bukan teman masa kecil, dan tidak pernah hidup di lingkungan yang sama tapi harus saling mengikat untuk sebuah pernikahan. Jarak umur menjadi pemicu pikiran-pikiran jelek itu.

Semua ini berawal dari keisengan ibunya Haechan dan ibunya Mark. Mereka berdua adalah teman satu jurusan. Namun harus berpisah saat ibu Mark pindah ke Canada dan menetap di sana.

Berpuluh-puluh tahun tidak ada kontak, tidak saling mengabari, keduanya bertemu secara tidak sengaja di sebuah mall. Keduanya melepas rindu dengan banyak bercerita, dari sini ide menyatukan kedua anaknya muncul.

Haechan awalnya terkejut saat Ten memintanya bertemu dengan Mark. Ten sebenarnya tidak memaksakan anaknya untuk menikahi Mark, Ten memberikan kebebasan. Jika Haechan mau menikahi Mark, Ten ikut senang. Tapi kalau Haechan tidak mau ya tidak apa-apa.

Berbeda dengan Mark, Mark sering dijodoh-jodohkan oleh ibunya. Mengingat usia Mark yang sudah menginjak kepala tiga, Taeyong gencar memilihkan pasangan untuk anaknya. Pilihan ibunya kali ini membuat Mark sedikit tertarik. Mark sangat menyayangi Ibunya. Calonnya kali ini adalah anak sahabat ibunya. Sahabat, bukan sekedar teman. Mark percaya, hasilnya tidak akan mengecewakan. Tapi setelah tau perbedaan usianya, Mark hanya bisa menghela napas.

%%%

"Hai, Haechan ya?" Mark baru saja datang ke cafe, tempat yang sudah dijanjikan sebelumnya. Menyapa, menyalami, dan tersenyum kepada Haechan.
"Ah- Iya, Haechan. Kamu Mark, benar?"
"Iya," jawab Mark dengan anggukan kecil.

Setelah saling sapa, hanya ada keheningan. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Uhmm, canggung ya ahaha. Lagi sibuk kegiatan apa, Chan?" Mark mencoba memecah keheningan.

Jujur saja, Haechan memang merasa canggung. Tapi kepalanya berisik, Haechan takut membuka mulut. Takut tiba-tiba otaknya menyuruhnya jujur, dan berteriak "Mark kamu ganteng banget", dengan mata berbinar.

"Iya nih, aku sering canggung kalo pertama kali ketemu orang baru. Aku kerja, kak(?). Aku manggilnya apa ya? Oh iya kata ayah, kamu dosen kan?" Haechan menatap Mark malu-malu.

"Iya aku dosen. Terserah sih kamu mau panggil aku apa. Mau panggil Bapak juga boleh hahaha," Mark berniat bercanda, tapi orang di depannya ini bukan sembarang orang. Usil, pasti diiyain.

"Ohh beneran, aku panggil Bapak." Kan, pake senyum usil lagi si Haechan.

"Aku bercanda loh, tapi ya gak apa-apa sih. Umur kita beda jauh. Kamu kenapa mau ketemuan sama aku? Kebetulan aku lagi nyari yang mau diajak ke jenjang lebih serius. Kamu masih muda, memangnya kamu mau lepas dari senang-senang?"
Mark berusaha menjelaskan tujuannya, tidak ingin buang-buang waktu untuk hal yang sia-sia.

"Kamu nyari yang serius ya? Hmm. Iya bener aku masih muda. Tapi kamu tau? Dari awal kuliah aku bukan orang yang aktif organisasi ini dan itu, aku cuma ambis kuliah. Aku habisin waktu aku buat kuliah, dan kerja. Sampai akhirnya aku bisa lulus cepat, dan langsung kerja di tempat aku magang. Aku gak punya banyak temen, bahkan pacar pun gak ada. Saat aku udah di titik ini, aku sadar, aku kesepian. Sama kayak kamu, aku cari orang yang serius, dan bisa jadi teman aku buat senang-senang nanti."

Mark tersenyum, tujuannya dan tujuan Haechan sama.

"Kita sama. Aku seperti sedang bercermin. Saat S1 aku memang gak seambis kamu. Tapi S2 dan S3 aku lakuin sendiri, gak ada teman. Aku ambis, berusaha lakuin apapun untuk kejar dunia. Sekarang aku sudah punya dunia, Chan. Kalau memang kita jodoh, kita nikmati dunia itu ya."

Keduanya tersenyum, ternyata to the point se-menyenangkan ini.

"... Ganteng," ternyata mulut Haechan memilih mengikuti perintah otaknya. Mengucapkan satu kata dengan wajah bengong dan senyum-senyum.

"Gimana?" Mark bingung, melihat sekelilingnya. Haechan sedang memanggil orang lain atau bagaimana? Tapi matanya fokus ke wajah Mark.

"Hah? Oh maaf maaf, aku gak fokus tadi." Haechan langsung menggelengkan kepala sesaat setelah sadar dari lamunannya. Majahnya merah, kenapa sih sampai bisa kelepasan?

"Ahaha, mukanya merah tuh. Iya aku tahu aku ganteng. Makasih ya pujiannya, cantik."
Mark balas memuji Haechan, lucu sekali. Bagaimana bisa seseorang sampai hilang fokus hanya karena 'ganteng'? Mark memuji Haechan cantik bukanlah kebohongan. Wajah berseri, bibir merah merona, mata bulat yang indah, siapa yang tidak tertarik?

Kamu pikir kalimat itu bisa bikin Haechan lega? Haechan makin salting. Cantik katanya? CANTIK? Sudahlah, Haechan ingin menenggelamkan wajahnya. Malu sekali.

Obrolan berlanjut. Hari yang panjang. Hari yang menyenangkan karena sudah saling mengenal. Saling terbuka, komunikatif, dan mau menceritakan apapun tanpa menutup-tutupi satu hal pun.

Cinta tumbuh semakin besar setiap harinya. Banyak hal mereka lalui selama tiga bulan masa pendekatan, sebelum memutuskan untuk menikah.

.
.
.
.
.
.
.
.
.

Mark was right, cantik 🥺❤

Mark was right, cantik 🥺❤

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Keluarga Kecil [Markhyuck]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang