3: Rewind

156 22 4
                                    

Happy reading ✨

•••

Setelah kejadian di rumah sakit waktu itu, Minjeong dan Jeno belum pernah bertemu kembali. Bahkan dengan Minji pun hanya beberapa kali saat di sekolah sana, Jeno tidak menampakkan batang hidungnya di hadapan Minjeong. Namun beberapa kali mantan mertuanya datang berkunjung.

Kehamilan Minjeong sudah mau melewati bulan ketujuh. Dua bulan lagi menuju persalinan. Sedikitnya ia merasa khawatir karena kandungannya tidak cukup kuat. Sering kali ia mual dan muntah tiba-tiba. Apalagi kondisi tubuhnya yang mudah lelah dan lesu.

"Mama, apakah Papa tidak akan datang lagi?"

"Mungkin pekerjaannya masih banyak," alasan yang sama diberikan Minjeong seperti sebelumnya.

"Aku merindukan Papa," lirih Minji agar tidak terdengar. Setidaknya ia mengerti sedikit, bahwa kedua orangtuanya memang tidak akan bersama lagi. Seperti yang dikatakan oleh istri baru papanya, Yena.

Minjeong tidak tahu dengan pertemuan mereka. Minji pun tak memberitahukan bahwa ia telah bertemu karena ia sudah diancam oleh Yena.

"Minji mau bermain dengan yang lain?"

"Tidak, Minji ingin di rumah saja menunggu Papa. Mama?"

"Iya, sayang?"

"Kepala Minji pusing."

Minjeong yang sedang mengerjakan pekerjaannya langsung menoleh. Ia menghampiri anaknya yang berbaring di sofa. Tangannya mengecek kening sang anak.

Perasaan bersalah meliputi hatinya. "Hari ini istirahat saja di rumah. Minji menginginkan sesuatu?"

"Papa..."

Lagi-lagi satu kata itu menyayat hatinya. Minjeong memutuskan untuk tak menjawab. Ia melenggang pergi dan kembali sambil membawa plester penurun panas.

"Minji tidak apa-apa berbaring di sini? Atau mau pindah saja?"

"Minji ingin di sini, lebih hangat."

Minjeong mengelus surai anaknya begitu plester sudah dipasangkan. "Baiklah. Mama akan menghubungi Papa, Minji tunggu saja ya?"

Kini wajah Minji sedikit lebih cerah. Ia mengangguk dengan lemah.

Minjeong tersenyum lembut. Ia beranjak untuk membawa telepon pintarnya. Mau tak mau ia harus melakukan ini. Demi Minji, anaknya. Ia tak boleh egois karena perasaannya.

Hanya beberapa detik sebelum panggilan diterima. Hening beberapa saat.

"Minji ingin bertemu, kau sedang sibuk?"

"Ya, aku akan mampir saat luang."

"Kapan?"

"Tidak tau, tunggu saja."

Sungguh, Minjeong tak menduga Jeno akan mengatakannya. Jeno tak pernah bersikap seperti ini sebelumnya, apalagi pada Minji. "Bisakah, kau meluangkan waktu untuk—"

"Aku sangat sibuk."

Panggilan berakhir dan Jeno yang mengakhirinya. Minjeong terkekeh kecil. Ia berbalik dan melihat Minji yang menatapnya penuh harap.

"Bagaimana, Mama?"

"Papa akan segera datang setelah pekerjaannya selesai. Minji, tunggu sebentar tidak apa-apa?"

Kali ini Minji mengangguk antusias meskipun harus menunggu. Yang penting papanya akan datang hari ini.

Minjeong tersenyum. Kemudian membuka pintu apartemen begitu mendengar bel berbunyi.

Usai [Short Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang