1 - Kabut Es

10 0 0
                                    

"Ditolak lagi?"

Diva mungkin mengaduk teh terlalu keras sehingga Sarah tahu lamaran pekerjaan di Kalimantan hanya berakhir di tumpukan surel masuk berbintang, tidak pernah berada di bagian surel keluar. Jemari gadis 23 tahun itu tidak mau repot-repot menghapus bukti penolakannya. Barangkali kalau dicetak sudah terkumpul dua map cokelat penuh, atau bahkan dua tas map Joyko. Senyumnya terukir lagi setelah menghela nafas panjang. Ia menatap Sarah intens, lalu mengedarkan pandangan ke penjuru kafe yang masih sepi. Butuh beberapa saat hingga akhirnya Diva mematikan laptop dan mengajak Sarah makan siang. 

"Mie ayam? Seblak? Atau mau bakso urat Sudirman? Jauh, sih, tapi udah lama kan nggak makan bakso?" tanya Diva pada Sarah yang kebingungan.

"Masih jam 11 pagi! Nanti, deh, jam-jam setengah dua gitu. Lagian katanya lu mau kerjain sesuatu? Nggak jadi?" 

Diva mengedikkan bahu cuek, "Males" 

Meski inginnya Sarah melengos mendengar jawaban ogah-ogahan Diva, cewek itu memilih menganggukkan kepala dan kembali berkutat pada ponselnya. Sarah sedang mengirimkan beberapa lamaran pekerjaan, sama seperti yang ingin Diva lakukan. Tetapi sekarang tidak lagi. Tidak ada yang benar-benar ingin dilakukan Diva. 

Dan itu sudah terjadi sejak tiga bulan lalu. 

Menghirup udara segar seperti ini seharusnya dapat merangsang otaknya untuk menemukan sesuatu yang hilang. Mengobrol dengan teman baik, makan makanan enak, seharusnya membantu. Namun sepertinya bepergian seperti sekarang malah menimbulkan dilema. Diva harus mengeluarkan uang yang bukan hasil jerih payahnya dan apalagi yang paling menjemukan selain pikiran itu. Memalukan. Tetapi tidak ada yang perlu tahu tentang dilemanya. Sorot mata menyedihkan yang sempat terpancar tadi harus segera dimusnahkan. Bukan untuk menjauhkan diri dari teman baik yang sudi untuk memperhatikan, tetapi untuk melindungi dirinya sendiri dari kekecewaan bahwa tidak akan pernah ada jawaban yang tepat atas kegelisahan dan dilema ini. 

Atau atas apapun yang menimpanya tiga bulan belakangan, yang tidak bisa didefinisikannya secara terperinci. Mungkin karena terlalu banyak untuk dicerna atau malah terlalu menyakitkan.

Wangi teh hitam yang perlahan mulai hilang digantikan dengan wangi mentega dan espreso membuat Diva kembali pada kenyataan. Dengan harapan sekelebat pikiran buruk tentang kegagalan diri dapat hanyut begitu saja, ia menghabiskan teh cepat-cepat lalu kembali mencari kesibukan lain. Laptopnya terbuka lagi. Usai menyambungkan Wi-Fi, kursor itu bergerak menuju Youtube, Netlfix, Amazon book, Youtube, Spotify, Wattpad, 

dan berakhir pada e-mail. 

Diva mengetatkan rahang dan membuang pandangannya begitu saja. Tanpa berusaha melihat layar, Diva mengklik tombol X dan langsung menutup laptop. Perjalanan panjang ini tidak membuahkan hasil sama sekali. 

Sebenarnya apa yang Diva cari? 

Sesuatu yang hilang atau sesuatu yang baru? 

"Dulu, waktu SMA, gue bisa dah beli buku banyak. Kok makin gede gini gue makin payah punya buku, ya?" 

Diva menegakkan punggung mendengar pertanyaan Sarah. Dilihatnya lagi Sarah yang masih menunduk memperhatikan layar ponselnya. Buku. Buku apa yang cocok untuk pribadi yang sedang dilema ini? Berapa banyak yang harus dibacanya supaya jawaban itu diketemukan?

Tetapi yang lebih membingungkan adalah mengapa sekarang ada rasa manis asam alkohol di ujung lidahnya? Diva menggulung bibirnya perlahan, memainkan otaknya untuk menerka mengapa minuman berkafein tadi malah membius saraf pusatnya untuk rileks dan meletakkan kepala di atas meja alih-alih terduduk tegap dengan mata membuka.

Makin lama teh hitam itu membiusnya semakin jauh. Membujuknya untuk mencecap bibirnya semakin dalam dan dalam, mencari-cari rasa manis yang ditutup dengan sisa pahit di mulut itu lagi dan lagi. Diva kemudian menghirup nafas ketika wewangian familier itu muncul. Sesaat kabut es dari gelas koktail mengaburkan pandangan dan menguarkan pesona kranberri dan Chambord, membuat, kali ini, Diva benar-benar memejamkan mata. 

Dan di sanalah dia. 

Diva, tiga bulan yang lalu. 



Une Vague des Malheurs et BesoinsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang