BAB 1: Malam Yang Sunyi

207 13 23
                                    

MALAM ini, hanya diisi tangis sendu dari seorang gadis yang sejak sore  tidak keluar dari apartemennya. Ia hanya meraung, menangisi sebuah hal yang tidak pasti. Bahkan, bisa dibilang cukup lebay untuk ukuran menangisi seorang laki-laki yang tidak tahu diuntung. Pram muak mendengar sahabatnya itu selalu menangis di tengah malam yang sunyi. Bukan berarti ia merasa terganggu, hanya saja Pram merasa ini sudah tidak wajar. Hampir setiap saat, bahkan ini terlalu sering terjadi. Pram, tidak ingin Nala menangis lagi.

Sudah ke berapa ratus kali ia menjadi midnight-nya gadis itu? Sepertinya tidak cukup dihitung dengan jari. Pram benci ini. Pram benci malam hari. Ia lebih suka pagi, siang, dan sore karena Nala selalu terlihat baik-baik saja dan selalu ceria. Laki-laki itu akan berusaha keras untuk mengembalikan Nala seperti sedia kala. Karena ia adalah ... pelindung untuknya.

Pram mengetuk pelan pintu kamar nomor 590 dan memanggil si empu. Berharap, pemilik kamar ini mau berbaik hati membukakan pintu untuknya. “La? Lo nggak apa-apa?” Namun, tidak ada sahutan. Pram  mendengar kalau gadis itu masih menangis.

“La! Nala! Lo denger gue, kan? Bukain pintunya, La!” Sekuat apa pun ia berteriak, sepertinya Nala tidak akan membukakan pintu.

“Ya, Tuhan. Apa gue dobrak aja pintunya, ya? Ah, iya, nggak ada cara lain!”

Dalam hitungan ketiga, laki-laki itu siap mendobrak pintu dengan tubuhnya. Tetapi, baru saja mengambil ancang-ancang, pintu terbuka dengan menampakkan sosok Nala yang sangat kacau. Jangan tanya ia baik-baik saja atau tidak. Nala sedang dalam keadaan tidak memungkinkan.

Please, La. Jangan kayak gini terus!”
Gadis itu pergi menghambur ke dekapan Pram. Nala kembali menangis dengan kencang, membuat laki-laki itu sangat iba. Pram mengembuskan napasnya. Kenapa sih, harus dirinya yang berada di posisi ini? Kenapa tidak orang lain saja yang merasakan semua ini? Rasanya ... sangat menyakitkan.

“Lo nggak apa-apa, La?” Pram mengelus surainya lembut. Menenangkan gadis itu agar berhenti menangis.

Nala menggeleng lemah. Ia tidak tahu kenapa selalu berada di posisi seperti ini. Ia juga tidak paham dengan skenario Tuhan, kenapa selalu memosisikan dirinya dalam situasi yang tidak membuatnya yakin untuk bertahan.

“Ribut lagi sama Hasby?” tanya Pram. Pasti tebakannya benar.

Nala mengangguk. Seratus, Pram sudah hafal itu dan tebakannya tidak mungkin meleset. “Tapi, bukan itu aja, Pram.” Setelah lama diam, akhirnya gadis itu membuka suaranya. “Gue–gue ....”

Pram menyentuh kedua pipi gadis itu. Ia meyakinkan Nala untuk tetap sabar. Ia tahu masalah apa yang sedang gadis itu hadapi sekarang. Sebagai sahabat yang sudah bersamanya hampir delapan tahun, Pram tahu betul seluk beluk keluarga Nala, dan apa yang membuat hati gadis itu gelisah.

“Gue udah ngomong sama Kakak lo, katanya nggak apa-apa. Mereka paham, lo lagi dalam kesulitan sekarang ini.”

Hanya Pram yang mengerti Nala. Hanya laki-laki itu yang bisa membuat Nala tenang, dan hanya Pram yang selalu ada untuknya. Seperti hari ini, dan malam-malam yang sudah mereka lewati bersama. Nala hanya ingin bersama Pram, sampai nanti mereka tua. Apakah bisa? Sejenak ia ingin melupakan Hasby—pacar tidak bergunanya itu. Entah sudah berapa kali ia tidak pernah  paham dengan kondisinya. Bahkan sempat mempermalukan Nala di tempat umum, hanya karena masalah kecil.

Kalian pasti bingung bagaimana caranya Pram tahu jika Nala menangis? Kebetulan, kamar mereka bersebelahan. Ini memang sengaja, karena Pram ingin selalu melindungi Nala, walaupun gadis itu sudah memiliki pujaan hatinya. Cukup sesak sih, tetapi Pram bisa mengatasinya dengan kelapangan hati yang sangat besar.

Rumah Untuk Nala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang