BAB 11: Rasa Untuknya

32 3 0
                                    

PRAM menatap layar laptopnya dengan serius, satu naskah belum selesai ia proofreading. Padahal besok sudah harus selesai karena akan naik cetak. Laki-laki itu terus mengembuskan napasnya kasar. Isi kepalanya sedang tidak terarah kepada pekerjaannya, melainkan memikirkan hal lain yang membuatnya tidak tenang.

Nala. Ia memikirkan gadis itu. Entah kenapa Pram merasa ada sesuatu yang gadis itu sembunyikan darinya. Namun, ia tidak tahu apa pun selain Nala yang sedang berjuang demi keluarganya.

"Gue nggak bisa lihat lo gini, La. Kenapa lo nggak cerita kalau lagi ada apa-apa?" ucap Pram sembari mengembuskan napasnya lagi.

Lagi. Pram tidak tahu harus bagaimana menyikapi semuanya. Ia hanya ingin Nala terbuka kepadanya, tidak seperti sekarang yang tertutup dan terlalu memaksakan diri. Pram rindu Nala yang dahulu.

"Gue tahu, lo masih Nala yang sama. Tapi, yang berubah sama lo cuma satu aja." Pram menjeda ucapan. "Lo jadi cewek yang lebih kuat sekarang, La."

Senyum lebar terpancar dari wajah laki-laki itu. Ia bangga melihat Nala yang sudah lebih dewasa, yang sudah bisa berjuang sendiri dan tidak ingin merepotkan orang lain. Hanya satu yang kurang darinya .... Nala, tidak pernah bisa mendengar dirinya sendiri. Selalu keras dalam hal apa pun.

"Dan gue nggak pernah tahu rasa yang paling sakit di dalam diri lo. Gue jadi pengin tahu segalanya, La. Walaupun gue udah tahu semuanya tentang lo." Pram tersenyum tipis.

Sesaat ia jadi ingat dengan sesuatu. Pram menatap ke luar jendela ruangannya dan bergegas menuju balkon.

Pram tidak pernah selemah ini sebelumnya. Tubuhnya terasa sangat lelah, bahkan ia menganggap dirinya sudah mati karena saking sakitnya sekujur tubuh. Ia ingin menggapai ponselnya yang berada di nakas saja tidak kuat, ingin pergi keluar tidak sanggup untuk berdiri. Maka dari itu Pram menyerah dan hanya berpasrah. Sampai akhirnya ia terlelap dan tidak sadarkan diri.

Terdengar suara dari luar kamarnya. Makin kencang, tetapi Pram tidak terusik sama sekali. Tidak lama muncul Nala yang terlihat cemas mencecar ke segala arah. Lampu yang memang mati, kembali menyala ketika Nala menekan saklarnya.

"Pram? Lo ada di dalam?" Namun tidak ada jawaban.

Nala akhirnya masuk dan mencari keberadaan Pram. Setelah mencari ke segala arah, ia sampai di pintu kamar tidur laki-laki itu.

"Gue pas lihat CCTV area luar kamar, seneng banget karena Nala kelihatan cemas banget. Gue seneng kalau lo perhatian sama gue."

Merasa tubuhnya sudah agak baikan, Pram bangun menyesuaikan cahaya lampu yang masuk ke dalam indra penglihatannya. Ia merasakan tubuhnya seperti remuk, rasanya sakit semua. Namun, semua itu tidak ada apa-apanya.

Pram lekas bangun dari kasur, keluar dari kamar mencari kebisingan yang ia dengar dari luar. Setelah berjalan ke arah dapur, ia menemukan Nala tengah mengayunkan tangannya di atas wajan penggorengan dengan lincah. Gadis itu sedang memasak.

Ia tersenyum, jarang sekali rasanya melihat Nala memasak seperti ini. Biasanya ia malas, dan selalu memesan Go-Jek ketika lapar. Namun, kali ini berbeda. Ada sesuatu yang membuat Pram merasa senang.

"Kayaknya enak, nih!" Pram berkomentar. Kemudian berjalan ke arah Nala.

"Lo udah bangun? Emang udah baikan?" Pram mengangguk. "Duduk aja sana, jangan ganggu gue!" Laki-laki itu menurut.

Ia mengamati aktivitas Nala dari meja yang tidak jauh dari gadis itu. Senyumnya tidak berhenti mengembang ketika melihat Nala yang sibuk dengan bumbu dapur.

"Rasanya beda, La. Apa kita bisa gini, nanti?" gumamnya pelan.

Kemudian ia mengalihkan perhatian ketika Nala membalikkan badan yang berjalan ke arahnya. "Nih, gue bikin nasi goreng kesukaan lo. Makan yang banyak, biar sembuh. Abis itu minum obat tidur lagi."

"Lo yang kompresin gue, La?"

Nala mengangguk, "Ya, siapa lagi coba? Tetangga lo, kan, cuma gue, Pram."

"Lo masuk ke sini nggak bilang gue dulu."

Gadis itu merotasikan bola matanya malas. "Lo pernah bilang, kalau ada hal darurat masuk aja. Lo juga sering masuk apartemen gue seenaknya. Lagian gue juga niatnya baik."

Pram tertawa, wajah Nala terlihat lucu jika sedang kesal. Apakah harus ia membuatnya kesal setiap hari? Yang ada gadis itu darah tinggi karenanya.

"Iya-iya. Gitu aja marah lo. Cepet tua, keriputan baru tahu rasa lo!"

"Makan dulu nih! Gue udah buatin nasi goreng buat lo." Pram mengangguk.

"Kapan lagi gue dimasakin dia, kan?"

Pram tersenyum ketika mengingat kejadian kemarin saat ia sakit. Nala dengan telaten merawatnya, menjaganya, dan selalu menunggunya. Nala juga siap sedia.

"La, gue tembak lo mau nggak?"

"Siapa yang mau lo tembak?"

Pram membeku di tempat. Itu-Alvin, teman SMA-nya. Mau apa ia datang ke kantor?

"Siapa yang mau lo tembak, Pram?" Alvin mengulang pertanyaan. "Pram? Oh, gue tahu!" Ia malah senyam-senyum tidak jelas.

Pram menghampiri temannya itu, kemudian duduk di sofa. Alvin menyusul, ia mulai memancing Pram untuk bercerita dengannya.

"Nala? Iya, kan?"

"Lo, kok, tahu?"

Alvin tersenyum smirk. "Gini ya, Bang Jago. Setiap hari kita ketemu di kampus, jadi gue tahu apa aja aktivitas yang dia lakuin. Dan lo mau tahu satu hal?" Pram mengernyitkan kening. "Mantannya ngedeketin dia lagi."

Pram benar-benar syok. Apa benar mereka dekat lagi? Atau hanya Hasby yang mencoba untuk dekat lagi dengan Nala?

"Se-serius? Lo nggak bohong, kan?"

Alvin merotasikan bola matanya. "Buat apa gue bohong coba? Nggak ada faedahnya. Kata gue mah, kalau emang lo suka sama dia mending langsung ngomong aja. Daripada nanti mereka balikan lagi gimana?"

Sumpah. Pram jadi takut. Semoga saja Nala tidak kembali masuk ke dalam perangkap laki-laki itu. Ia hanya berharap, Nala bisa menjaga dirinya ketika ia sedang tidak bersamanya.

"Gue bingung Vin, karena emang Nala cuma nganggap gue sebagai sahabat aja. Nggak lebih. Dia pernah bilang jangan pernah ada yang suka di antara kita. Dari situ aja gue udah ke distraksi, apa gue bisa?"

"Pram, Pram. Lo itu nggak peka banget sih. Gini, pertemanan antara cewek sama cowok itu nggak bakal lama. Pasti salah satunya bakal ada yang suka. Paham?"

Alvin mengembuskan napasnya. "Iya, kan, Pram? Gue ngomong gini karena fakta. Buktinya Lo suka sama Nala, kan?"

"Iya." Pram mengangguk. Apa salah ia menyukai Nala? Apa salah langkahnya sekarang ini?

Jadi ini rasanya. Serba salah, tidak bisa berbuat apa-apa. Pram tidak bisa melarang Nala untuk menjauhi siapapun termasuk mantannya. Ia jadi pusing, belum lagi ucapan Alvin terngiang-ngiang di kepalanya.

"Terus gue harus ngapain?"

"Pake nanya lagi! Ya ampun, Pak Owner kok jadi oon gini, sih? Lo itu penulis juga, Pak!"

Pram tertawa. "Hhe, lo tahu aja kalau gue itu oon dalam hal percintaan."

Pada dasarnya Pram hanya bingung dengan keadaan, ia tidak bisa menahan apa yang seharusnya ia miliki. Apa yang seharusnya ia dapatkan. Lalu, apa yang akan ia lakukan sekarang?

***

Bekasi, 16 April 2024.

Author Buluk.






Rumah Untuk Nala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang