BAB 5: Mengobati Luka

34 4 0
                                    

PRAM keluar dari rumah Neneknya, laki-laki itu harus menanggung rasa malu untuk yang kedua kalinya. Ia sudah menduga hal ini akan terjadi lagi seperti lima tahun yang lalu. Semangatnya sudah dipatahkan dengan rasa kecewa dengan dirinya sendiri. Bahkan ia memang sudah merasa sangat tidak pantas berada di tengah-tengah keluarganya yang sangat berpendidikan.

Satu kata yang ingin ia ucapkan, "CAPEK!" Lagi. "BENCI!" Pram rasanya ingin menyerah saja saat ini, semua yang telah ia lakukan selama ini hanya sia-sia baginya. Walaupun tidak berpendidikan tinggi, setidaknya ia ingin setara dengan mereka. Apakah salah jika ia tidak memiliki pendidikan yang tinggi? Apakah kesuksesan harus didapat dengan gelar sarjana, atau doktor? Sebenarnya ... tidak.

Wajah lesu itu akhirnya menyerah kepada Tuhan, ia hanya berharap suatu saat nanti bisa membuktikan kepada mereka, kalau ia bisa dan akan mampu. Nala yang menemaninya sekarang, hanya bisa mengucapkan kata sabar dan mungkin sangat terdengar biasa. Hanya itu yang dapat ia lakukan untuk sahabatnya.

"Tapi, kalau kata gue mah, ya, Lo itu keren tahu! Mereka bisa berhasil berkat bantuan orang tuanya. Sedangkan, lo? Lo berjuang sendiri Pram, lo hebat, lo keren! Harusnya mereka yang malu, lo harus bangga Pram!"

Pram menatap wajah Nala, ia tersenyum, ia juga sangat bersyukur karena Tuhan selalu menempatkan Nala di hati dan kesehariannya. Pram tidak ingin jauh dari Nala, apakah semua itu akan bisa? Pram harap, Tuhan mengabulkan doa kecilnya. Semoga saja. Karena ia ingin melihat Nala bahagia.

"Makasih ya, La?" Gadis itu mengangguk.

Malam ini begitu indah, cahaya bulan terasa menerangi mereka berdua, bintang pun bersinar terang menunjukkan pesonanya yang indah. Huh, rasanya Pram ingin menjadi salah satu bintang di angkasa, selalu ditunggu semua orang, bersinar dan bisa membuat semua orang bahagia. Sayangnya ....

"Sayangnya, gue nggak bisa kayak bintang, ya, La"

Nala mengerutkan dahinya, "Maksudnya, Pram?"

Laki-laki itu menatap ke arah Nala dengan serius. "Gue nggak bisa jadi bintang di hati lo, La."

Gadis itu terkejut, apa yang dimaksud Pram? "Ma-maksud lo?"

Pram yang sadar jadi gelagapan. "E-eh, m-maksud gue, apa bisa gue bersinar terang kayak bintang di atas sana?" ucap Pram sembari menunjuk ke arah bintang yang dimaksud. Kemudian ia menghela napas panjang. La, kenapa lo kayak kaget gitu? Apa gue memang nggak pantes buat lo, ya?

"Kata siapa? Menurut gue, sekarang lo udah bersinar banget, Pram! Dari dulu pas zaman SMP, lo itu udah bersinar, paling beda. Sama lo juga yang paling pinter di kelas kita. Apalagi?" Mendengar penuturan gadis itu, bibir Pram melengkung sempurna. Apakah benar seperti itu?

Ucapan Nala terlihat tulus dari hati. Pram memang tidak salah menyukai dan mengagumi gadis itu. "Apa iya? Jangan boong lo, gue tahu lo ngomong gitu cuma mau bikin gue seneng aja, kan?"

Tiba-tiba wajah Nala berubah kesal. "Anjir lo! Dasar cowok nggak punya perasaan! Gue bilang gitu memang kenyataannya kayak gitu, kan? Males deh gue sama lo!"

Pram tertawa, ia sangat senang melihat Nala yang marah-marah seperti ini. Sangat candu, Pram menyukai tingkah Nala yang seperti ini. Namun, sampai kapan ia akan merasakannya lagi? Pram kembali murung.

"Lah, kenapa mayun lagi, tuh, bibir? Lo minta dicium monyet ya?" ejek Nala dan berhasil membuat Pram kembali tertawa.

"Sialan lo!"

"Udah lah, Pram. Cukup sampai sini aja sedihnya. Gue muak lihat lo yang kayak gini. Mana Pram yang gue kenal? Yang setiap hari selalu senyum? Mana?"

Sungguh, ia tidak bisa menahan diri lagi. Ia tidak ingin kehilangan orang yang ia sayangi dan cintai. Tuhan, apakah ia boleh egois? Ia hanya ingin Nala terus bersamanya. Apakah bisa, Tuhan?

Rumah Untuk Nala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang