BAB 9: Hari Kita Berdua

24 4 0
                                    

SUASANA hati yang semula redup, kini kembali bersinar ketika Nala menemukan kesenangan pada pagi hari ini. Tepatnya setelah bertemu dengan murid-murid lucunya yang sangat menggemaskan. Selain menjadi tenaga pengajar di sekolah menengah atas, Nala juga dipercaya mengajar anak-anak TK setiap hari. Percayalah, Nala bisa membagi waktu bekerjanya di Coffee Shop, kuliah, dan waktu istirahatnya.

Hari ini ia tidak sendirian, ada Pram yang menemaninya. Kebetulan, laki-laki itu libur bekerja. Lebih tepatnya meliburkan diri sendiri. Pram jika sudah cinta dengan seseorang, ia tidak akan segan-segan melakukan hal apa pun. Contohnya seperti sekarang ini.

Pram menatap Nala dengan kagum, gadis itu terlihat sangat cantik dan manis. Cara berinteraksi gadis itu dengan para muridnya patut diacungi jempol. Pram benar-benar tidak salah pilih. Nala memang yang terbaik. Samar-samar ia mendengar gibahin dari para orang tua murid. Pram cukup terhibur dengan ucapan mereka.

“Cakep ya, calonnya Bu Nala.”

“Iya, kalau nggak salah ini Pram anaknya Pak Gunawan, kan?”

“Wih keren, ya, sekarang. Makin maju. Hebat banget Pak Gunawan.”

Namun, ada yang membuatnya sesak. Apakah bisa ia bersama Nala? Pertanyaan ini selalu ia tanya kepada dirinya sendiri setiap malam. Bebagai validasi, dan persepsi dari banyak mata menjadikan dirinya takut untuk memulai lebih jauh. Tetapi, Pram tetap percaya dengan dirinya sendiri.

Pram tersenyum ketika Nala datang menghampirinya. Gadis itu dengan ramah tersenyum kepada para ibu-ibu yang menunggu anaknya. “Kirain lo pulang, kenapa nunggu?” Pram tidak menjawab. “Lo beneran nggak kerja, Pram?” Nala sibuk mencari sesuatu di tasnya.

“Lo tadi sarapan nggak?” Pram menggeleng. “Nih, minum susu kotak rasa cokelat. Kesukaan lo, kan?” Laki-laki itu menerimanya.

“Ibu Nalaaaa! Tunggu!” teriak seorang gadis kecil kucir kuda.

Gadis itu berlari cepat, takut Nala segera pergi. “Ini buat Ibu,” ucapnya. Gadis yang kurang lebih berusia lima tahun itu tersenyum manis menunjukkan gigi ompongnya.

“Wah, makasih banyak ya, Sayang.” Nala terharu karena diberikan sebuah hadiah oleh Gina—nama gadis itu.

Gina menatap Pram bingung, mungkin ia bertanya-tanya siapakah laki-laki yang bersama gurunya. Pram berjongkok, kemudian memberikan senyum terbaiknya dan mengusap rambut Gina lembut. “Hallo, nama kamu siapa?”

“Gina, Om.”

Pram dan Nala menatap satu sama lain. Kemudian Nala tertawa mendengar Gina menyebut Pram dengan sebutan ‘Om’.

“Panggil Kakak aja, jangan Om, ya?”

Nala menggelengkan kepalanya mencoba memberitahu Gina untuk tidak menuruti ucapan Pram. “Nggak mau, Om.”

Pram mengembuskan napasnya pelan. “La?” Laki-laki itu tahu, Nala pasti melakukan sesuatu. “La?” ucapnya lagi.

“Oke-oke. Gina, Sayang. Panggil Kakak ini Kakak Pram ya? Jangan panggil Om dia masih muda.” Nala tersenyum ramah.

“Kak Pram ini pacalnya Bu Nala?” Pertanyaan gadis itu membuat Nala terdiam. Begitupun dengan Pram. “Ganteng ya Kak Pram. Nala mau deh jadi pacar Kakak kalau udah gede.”

Mereka berdua membulatkan mata, benar-benar di luar dugaan. Gadis berusia lima tahun ini mengucapkan kata yang jarang diucapkan oleh anak-anak seumurannya.

“Gina, kamu masih kecil. Jangan ngomong gitu lagi ya? Belajar yang rajin.” Nala ikut berjongkok, kemudian matanya bertemu dengan mata Pram.

“Hhe, Gina belcanda Bu. Kalau begitu, Gina pelgi dulu ya. Dadah Ibu Nalaaaa, Kak Pram.” Gadis itu berlari menghampiri mamanya yang sudah menunggu di gerbang.

Rumah Untuk Nala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang