XXXIX

761 72 13
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Assalamualaikum warahmatullah..


°•happy reading•°

°
°

~🕊️~

Hari berlalu begitu cepat, namun tidak bagi seorang Hanindya. Tiga hari terasa bagaikan tiga bulan tanpa kehadiran Gus Rafan disampingnya. Berkali-kali ia menangis menyesali perbuatannya yang tidak menurut dengan perkataan suami hari itu.

Siang ini setelah melaksanakan sholat dhuhur dan murojaah, Hanin kembali menangis. Namun bukan karena merindukan Gus Rafan, melainkan ia merasa sangat ingin memakan buah jambu yang ada di belakang aula.

Entah mengapa tiba-tiba sekali, sepertinya ini yang dinamakan ngidam. Situasi di ndalem sangat sepi karna Umma Hanum sedang menemani Abah Ahmad ke desa sebelah, Gus Abi sedang ada di ruangannya, dan Nafisha sendiri tidak tau pergi kemana. Hanin bingung ingin meminta bantuan kepada siapa, ia benar-benar menginginkan buah itu.

Setelah cukup lama berfikir keras, dengan perasaan ragu Hanin memberanikan diri untuk keluar dari ndalem, melanggar perintah suaminya malam itu.

Disinilah ia sekarang, tepat di depan pohon jambu yang ada di belakang aula. Hanin tersenyum girang, namun lagi-lagi ia harus dilanda rasa bingung. Pohon jambu ini begitu tinggi, bagaimana cara mengambil buahnya?

"Sabar adek, ini umi mau ambil buahnya ko. Jangan sedih ya.." monolog Hanin sembari mengusap-usap perut ratanya.

Karna tidak menemukan kayu disekelilingnya, Hanin memutuskan untuk memanjat saja. Ia kembali tersenyum girang saat berhasil duduk di dahan pohon.

Tangannya berusaha menggapai buah jambu batu berwarna kuning yang menandakan bahwa buah itu sudah matang. Buah itu terletak agak jauh sehingga Hanin merasa kesulitan mengambilnya. Dia terus berusaha, bahkan sampai tidak sadar ada ranting yang lumayan tajam hingga membesat kulit lengannya. "Awh!" Pekik Hanin sembari mengusap sedikit darah yang menetes.

Disisi lain, Gus Rafan berjalan lesu melewati lorong setelah melakukan rapat dengan beberapa pengurus inti. Ia masuk ke dalam ruangan dan duduk di kursinya.

Terdengar helaan nafas yang begitu panjang, menandakan bahwa ia benar-benar merasa lelah. Ia kembali bangkit untuk mengambil minum. Namun saat berjalan, lengannya tak sengaja menyenggol bingkai yang terdapat foto Hanin didalamnya. "Astaghfirullah.." Gus Rafan segera berjongkok. Ia langsung membersihkan pecahan kaca dan menyimpan foto istrinya di dalam laci.

Perasaannya tiba-tiba menjadi gelisah karena kejadian tadi. Niat mengambil air ia urungkan, beralih mengambil ponsel yang sempat ia taruh diatas meja. "Fisha, mbak mu ada di rumah kan?"

Nafisha di sebrang sana entah ingin menjawab apa. Dia merasa cemas saat mengetahui bahwa Hanin tidak ada di ndalem. "E-eum.. F-fisha tadi abis ke warung depan mas, terus pulang-pulang mbak Hanin udah ga ada di rumah"

Gus Rafan terkejut mendengarnya, perasaan khawatir benar-benar telah menyelimuti. Tanpa mengatakan apa-apa lagi ia langsung mematikan telfon dan bergegas mencari keberadaan istrinya sekarang.

"Kamu melihat Hanindya?" Tanya Gus Rafan pada setiap orang yang ia lalui. Namun jawabannya tetap sama, tidak melihat.

Ia berkeliling ke setiap penjuru mencari Hanin, tidak perduli dengan nafasnya yang sudah tersengal-sengal akibat lelah. Sampai tersisa satu tempat yang belum ia kunjungi, yaitu aula dan wilayah sekitarnya. Langsung saja ia bergegas kesana dengan langkah tergesa-gesa.

Cinta DyaDra | On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang