"Mati kamu Biu. Mati." Suara cempreng Apo mengelegar keseluruh ruang kelas yang memang sedang kosong.
Jadwal olahraga membuat semua penghuni kelas telah pergi untuk berganti baju, meninggalkan dua orang siswa yang sedang panik. Lebih tepatnya Biu yang panik. Siswa mungil itu mengigiti kuku, bingung dan takut menjadi satu.
"Gimana dong, Apo? Aku bisa digantung pak Piya kalau dia tahu aku gak bawa baju olahraga.."
"Kamu sih, kok bisa lupa?"
"Aku kan udah bilang, aku kesiangan."
Apo berdecak, remaja itu memeluk seragam olahraga miliknya. "Coba cari pinjaman Biu, kayaknya ada kelas lain yang bagian olahraga."
"Kelas mana, Po?"
"Sebentar," Apo berjalan menuju bangkunya, kemudian mengeluarkan iPadnya untuk memeriksa jadwal pelajaran seluruh siswa yang ada di sekolahnya.
"Yah," Apo bergumam sedih sembari menggulir gadget mahalnya itu. "Kelas sepuluh cuma kelas kita. Kelas sebelas gak ada. Kelas dua belas cuma ada satu, dua belas dua. Gimana?"
"Dua belas dua?" Biu bergidik ngeri. Kelas yang disebutkan Apo memang cukup horor. Berisi anak-anak paling kaya di sekolahnya. Keangkuhan mereka telah terkenal keseluruh sekolah.
"Iya." Apo sama ragunya.
"Gak berani, Po."
"Terus gimana? Mau bolos aja?" Apo memberi saran. "Kamu ke uks aja, nanti aku bilangin pak Piya."
Biu menggeleng ribut. "Kalau bolos, nilaiku bakal ada yang bolong."
"Sekali doang."
"Gak bisa, Apo." Ucap si remaja mungil. Bagaimana pun, ia harus mempertahankan beasiswanya. "Ya udah deh, aku minjam aja ke dua belas dua. Segalak-galaknya mereka gak akan ngalahin pak Piya."
"Yakin kamu?"
"Ya gimana lagi?" Biu menarik nafasnya dalam. "Kamu duluan aja ganti baju."
"Loh, kamu gak mau diantar?"
"Gak usah, udah sana. Kamu ganti baju terus duluan kelapangan."
"Bener?" Tanya Apo lagi, memastikan.
"Iya, udah gak apa-apa."
***
Tubuh mungilnya bersembunyi dibalik tembok, si mungil benar-benar mencari mati.
Layaknya pencuri, ia mengendap-endap. Memperhatikan pintu kelas dua belas dua yang tidak tertutup rapat.
Biu mengincar, berharap ada seseorang saja yang keluar dari kelas itu dan menyelamatkannya.
Jam olahraga hampir dimulai, ia tidak punya banyak waktu.
Sebelum pak Piya membunyikan pluit dan mengabsen muridnya satu persatu, Biu harus sudah ada di sana.
Sedang dalam keadaan yang begitu tegang, matanya kemudian menangkap sosok berjaket yang keluar dari kelas dengan wajah datarnya.
Pria berkacamata yang ia temui di perpustakaan beberapa hari lalu.
"Kak Bible.." Biu memanggilnya pelan. "Kak, hei, kakak!" Tangannya melambai, berharap Bible menoleh kearahnya.
Semesta seolah sedang berada dipihaknya, kakak kelasnya itu benar-benar melihat keberadaan dirinya.
Alis pemuda kelas dua belas itu terangkat. Mencoba mengenali orang yang memanggilnya sok akrab.
"Kak! Sini!" Biu kembali melambai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eerste Liefde
FanfictionJakapan Puttha tidak tahu apa yang salah hingga sikap Wichapas Sumettikul begitu dingin padanya. Cinta lama, cinta pertama, cinta remaja, bukankah seharusnya pria tiga puluh tahun itu telah melanjutkan sejak keduanya lulus dari bangku menengah atas...