Biu kembali dari area kelas dua belas dengan langkah gontai.
Wajahnya memerah seperti akan menangis.
Ia sekarang tidak punya pilihan kecuali meminta ampun pada guru olahraganya, Piya.
Memang seharusnya Biu tidak perlu menaruh harapan pada kakak kelasnya yang angkuh itu, Bible sama sekali tidak bersimpati. Justru pria dingin itu mengusirnya dengan tega.
"Pelit. Jahat. Jelek. Awas aja gak ada yang mau sampe tua." Biu mengumpat, langkahnya perlahan mendekat ke lapangan. Teman-temannya sudah berkumpul di sana.
Apo yang menyadari kehadiran Biu segera melesat untuk menemui temannya itu. "Biu gimana dapat gak baju pinjamannya?" Tanya Apo setengah berbisik.
Biu menggeleng kecil, remaja manis itu duduk berjongkok ditengah teriknya lapangan. "Apo, aku kayaknya gak akan bisa sekolah lagi di sini."
Biu begitu murung, membuat perhatian teman-temannya ikut tertuju pada si manis. Apalagi dirinya begitu mencolok tanpa seragam olahraganya.
"Hah? Kenapa?" Apo agak membungkuk karena tidak mendengar dengan jelas ucapan Biu.
"Semester ini nilaiku pasti turun." Sebenarnya bukan tanpa alasan Biu begitu takut.
Syarat untuk mendapatkan beasiswa adalah nilai dan poin siswa yang tidak boleh turun, maka dipastikan jika Piya memberikan nilai rendah karena Biu lalai dalam mata pelajarannya, si manis itu akan mendapat sanksi.
Yang terberat adalah tidak bisa melanjutkan menjadi penerima beasiswa penuh. Sedangkan orang tuanya hanya karyawan biasa, tidak akan mampu menunjang jika ia meneruskan sekolahnya di sma elit itu.
Suara peluit menandakan Piya sudah hadir di tengah-tengah muridnya. Biu mengigit bibirnya. Bersiap menghadapi guru garang itu.
"Anak-anak berkumpul semua." Ucap suara bariton guru lima puluh tahunan itu.
Apo menatap Biu dengan tidak tega. "Biu.."
Pluk
Biu dan Apo sama-sama kaget sebab tiba-tiba sebuah paperbag jatuh di dekat keduanya.
"Buruan ganti baju, biar pak Piya aku alihin dulu perhatiannya."
Biu berkedip-kedip bingung, remaja manis itu menoleh pada sahabatnya yang juga sedang mematung.
"Malah diem, mau olahraga gak?" Kasar seperti biasa.
Beberapa detik Biu tetap diam, hingga pelototan dari kakak kelas garang itu membuatnya segera berdiri dan mengambil paperbag yang dilempar Bible.
"Ini, ini buat aku?"
"Cuma itu yang nyisa di ruang admin, paling kegedean dikit." Bible berbalik, tanpa menunggu ucapan terimakasih dari Biu. Pria kelas dua belas itu membelah kumpulan para siswa dilapangan, menuju pada guru olahraga yang kaget melihatnya.
Selama mengajar, Piya bahkan tidak pernah bertemu dengan putra pemilik sekolah itu. Sejak kelas sepuluh Bible memang memutuskan tidak ikut pelajaran olahraga, seperti yang ia ucapkan, untuk apa berpanas-panasan disiang bolong.
Maka ketika wujudnya terlihat oleh mata kepala Piya, si guru olahraga segera menyapanya. "Nak Bible, ada apa nak?"
"Pak, ada yang mau saya tanyakan."
Piya segera mengangguk. "Baik, ayo kita bicara dipinggir."
Tidak ingin putra tunggal kaya raya itu kepanasan, Piya mengajaknya ke tempat teduh.
Sementara itu Biu yang masih tidak sadar apa yang sebenarnya terjadi, segera digeret oleh Apo menuju kamar mandi.
Tidak banyak waktu, si manis harus segera berganti pakaian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eerste Liefde
Hayran KurguJakapan Puttha tidak tahu apa yang salah hingga sikap Wichapas Sumettikul begitu dingin padanya. Cinta lama, cinta pertama, cinta remaja, bukankah seharusnya pria tiga puluh tahun itu telah melanjutkan sejak keduanya lulus dari bangku menengah atas...