Mobil melaju dengan tenang menuju tujuan yang ditentukan oleh penumpang. Di perjalanan, pikiran Erine masih terfokus pada sikapnya sebelumnya, merasa tidak nyaman dengan semua yang terjadi.
"Itu temannya emang ditinggalin, ya kak?" tanya supir taksi, berbasa-basi sambil memandang ke arah kaca spion.
"Iya, katanya mau pulang sendiri," jawab Erine, berusaha terdengar santai meskipun hatinya sedang bergejolak. Supir itu hanya mengangguk sebagai tanggapan, sementara Erine kembali terjebak dalam pikirannya sendiri.
"Apa aku terlalu berlebihan?" gumamnya dalam hati. Apakah dia tidak boleh merasa cemburu saat sahabatnya dekat dengan orang lain? Seharusnya tidak masalah, bukan? Tapi mengapa perasaan ini terus mengganggu?
Dengan satu tarikan napas dalam-dalam, Erine berusaha menenangkan dirinya, berharap bisa melupakan kekacauan yang menyelimuti pikirannya.
Tak berselang lama, beberapa notifikasi membanjiri handphone yang berada di dalam backpack-nya.
ting
ting
tingOline:
p
p
p
p
p
AKU DITINGGAL??!!Bukan satu atau dua, Oline mengirimkan banyak pesan sekaligus, membuat layar handphone Erine dipenuhi bubble chat yang terus muncul satu per satu. Erine meletakkan kembali handphone-nya, membiarkan tanda centang biru muncul untuk pengirim yang gelisah itu.
Dalam suasana hati yang buruk, Erine bertanya-tanya mengapa dia merasa seperti ini. Mengapa ia begitu iri dengan kedekatan Oline dan Delyn? Apakah ini perasaan yang wajar? Bukankah mereka hanya teman? Setiap kali ia memikirkan mereka, rasa tidak nyaman itu kembali muncul, seolah mengusik hatinya yang berusaha tenang.
Sepuluh menit berlalu, dan mobil taksi pun memasuki area tujuan. Erine menatap ke luar jendela, berusaha mengalihkan perhatiannya dari pikiran yang terus menghantuinya. Pepohonan dan gedung-gedung yang melintas di hadapannya tampak blur, seolah dunia di luar tidak sebanding dengan kekacauan yang terjadi dalam benaknya.
"Sudah sampai, Kak. Jangan lupa untuk bintang yang full ya, Kak," ucap si supir sambil menghadiahkan senyum ramahnya. Erine membalas dengan senyuman kecil, berusaha menyembunyikan perasaannya yang bergejolak di dalam hati. Ia tahu, ada yang harus segera ia lakukan-ia tidak bisa terus terjebak dalam perasaan ini.
Erine mengangguk sambil membalas senyuman si supir, lalu membuka pintu mobil berwarna biru tua itu. Ia melangkahkan kakinya keluar, merasakan hembusan angin segar yang menyapu wajahnya, sebelum memberikan apresiasi kepada jasa pengantar melalui aplikasi.
Namun, tanpa diduga, ia mendapati seseorang berdiri di depan pintu, ekspresinya menunjukkan kebingungan. Alisnya bertaut, bibirnya dipoutkan, dan tangannya disilangkan di depan dada. Sorot matanya tertuju pada Erine, seolah menantikan penjelasan atau reaksi darinya.
"Apa?" tanya Erine tanpa berbasa-basi, langsung menuju inti pembicaraan.
"Kan aku tadi bilang mau pulang bareng sama kamu, kenapa malah ninggalin aku?" jawab Oline, dengan ekspresi yang mulai berubah seperti anak kecil yang kecewa.
"Gapapa, aku buru-buru tadi," ujar Erine, berusaha menegaskan alasan yang sebenarnya berbohong.
"Emang kalau buru-buru, kamu bakal nggak liat aku?" Oline balas, merasa tidak terima.
"Liat-" Erine memotong Oline dan segera menerobos masuk ke dalam rumahnya.
Oline mengikuti langkah sahabatnya itu, merasa bingung dengan perubahan perilaku Erine. Tadi pagi, mereka sangat akrab, bersenda gurau dan tertawa, namun tak berselang lama suasana di antara mereka berubah menjadi tegang seperti ini. Rasa penasaran dan khawatir menghantuinya. Ada apa dengan Erine?
KAMU SEDANG MEMBACA
ENCHANTED
FanfictionI have to say no, even if my heart says otherwise. [Orine] - revisi