Oleh-oleh

13 3 0
                                    


Aku dan Radit pulang ke Bumi Kedua, dijemput oleh Letnan Kai. Letnan datang cukup pagi, membawakan kami sarapan dari Iredale berupa makanan sehat yang kebanyakan pahit rasanya.

"Aku yakin kalian menyepelekan kesehatan kalian selama di sini, jadi aku datang untuk membantu keseimbangan nutrisi serta mencegah kalian sakit," ucapnya sopan.

Aku merinding lagi mengingat rasa pahit salad dan jus sayur yang dia bawa. Uek! Organ dalamku sampai sakit memaksa mendorong rasa pahit itu ke lambung.

Kami diantar langsung sampai ke depan rumah. Ketika aku membuka pintu, aku membeku di tempat, melihat dua orang di ruang tamu yang sedang berbincang dengan Ayah.

Salah satu dari mereka menoleh dari bahu, senyumnya merekah, dan buru-buru bangun dari duduk. "Anna!"

Perempuan bersurai di atas bahu itu memelukku kencang-kencang sambil bersuara riang. "Uta?" syokku.

Gadis dari planet jauh itu melepas pelukan, berganti memeluk Radit. "Radit!" sapanya.

Adikku tenggelam dalam dekapan. Menyuarakan sesuatu yang tak begitu kutangkap dengan jelas. Ah, iya. Uta, kan, paling suka sama Radit dan anak-anak kecil di tempat Les orang tua Saga—gadis itu gemas pada mereka.

"Kalian ada perlu apa ke mari?" tanyaku.

"Kami akan ikut serta dalam 'kamp pelatihan' Iredale." Maza melangkah menghampiri. "Dan kami ingin mencari tahu detail Kamp tersebut sekaligus mengisi pendaftaran."

Radit mengulurkan kepalan tangan ke Maza. Robot itu loading sejenak, sebelum mengepalkan tangan juga dan membenturkannya sebagai salam khas sohib laki-laki.

Aaah, benar juga. Kak Amma pernah bilang kemarin. Aku tidak menyangka mereka bakal datang secepat ini.

"Anna, mengobrolnya di dalam saja." Ayahku ternyata hendak pergi ke kebun, terlihat dari tas karung goni yang kini digantung di bahu. "Ayah pergi menyusul Ibu. Nanti sore, kalian mampir ke rumah, ya. Kita makan sama-sama."

"Iya, Yah," kataku.

"Hati-hati di jalan, Pak Nouman," salam Uta sampai melambai, diikuti Maza dan Radit.

Letnan berkata, "ayahmu mengajakku juga?"

"Errr, aku rasa iya?" Ayahku tidak keberatan kalau aku mengundang seorang Letnan untuk makan, kan? "Kalau Ayah mengajak banyak orang makan bersama, biasanya itu karena hari panen sayur dan buah sedang melonjak."

Pria itu mengangguk kecil. "Kalau begitu, aku akan ajak teman baikmu, Han. Dia pasti ingin berbincang lama denganmu, tapi belum sempat karena pekerjaan di Istana."

"Oooh, boleh banget," kataku senang. Aku juga ingin bertemu Han. Aku dengar dia sudah bertunangan dengan seseorang dan aku ingin sekali tau bagaimana kisahnya.

Letnan pamit pulang. Aku dan yang lain lanjut berbincang di kursi meja makan.

"Barang-barang kalian ada di mana?" tanya Radit.

"Masih di Iredale. Kami menyewa penginapan di sana. Sebelumnya, kami ke rumah Lofi, tapi rumahnya terkunci. Kemudian, kami dengar dari Pak Nouman kalau Lofi pergi ke Bumi bersama Putri Amara," jelas Maza.

Uta tersenyum miris. "Padahal aku lebih ingin menyewa penginapan di Nascombe, tapi kami tidak menemukannya tadi. Ah iya, aku bawa buah tangan untuk kalian."

"Eh?" ujarku dan Radir bersamaan.

B-buah tangan dari planet cyborg?

Maza membuka bagasi penyimpanan yang terpasang di punggungnya, mempersilakan Uta mengambil alat pipih dari besi hitam dan menyodorkannya padaku. "Ini sisir yang biasa kupakai di sana."

Sisir dari mana?! Dari pada sisir, benda ini lebih mirip catokan.

"Nanti aku ajarkan cara pakainya. Nah, yang ini untuk Radit."

Dia memberikan alat yang bahan dan warnanya serupa, tapi itu berbentuk tabung, pas di genggaman adikku.

Manik Radit langsung menyisir keseluruhan benda itu.

"Itu pedang kejut. Pedang yang bisa memotong apa pun dengan mulus dan kalau kamu tekan tombol kuningnya selagi pedangnya dikibaskan, pedang itu tidak memotong apa pun, tapi akan menyalurkan efek setruman sesuai tekanan jarimu ke tombol."

"Waaah—"

"Engga!" tegasku, langsung merebut barang super berbahaya itu selagi Radit bersuara kagum.

"Ah, Kakak, mah!" protes Radit.

"Kamu masih lima belas tahun, gak boleh!"

"Memangnya di sini ada aturan pemakaian senjata menurut umur?" bingung Uta.

"Tidak, sih. Namun, aku tidak tenang. Orang tuaku juga tidak akan tenang kalau tau. Aku akan simpan benda ini sampai aku yakin pada waktunya," jelasku dengan risau. "Makasih, ya, Uta. Maza."

Buku Harian Bumi [FF Forestesia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang