Festival Budaya Sekolah

18 3 1
                                    


TEMA : Buatlah cerita di mana tokoh utama ceritamu bertemu dengan karakter favoritmu (bisa dari Game/Buku/Komik/Film/Series)

That's why, bab ini bakal lain sendiri /pemberitahuan sebelum kalian heran/ (⁠•⁠ ⁠▽⁠ ⁠•⁠;⁠)

•••

Mima mengajakku ke Bunka-sai—mungkin sejenis class meeting kalau sekolah Indonesia—di suatu hari. Dia bilang itu acara senang-senang di sekolahnya dan terdapat banyak hiburan di sana. Dia bermaksud mengajakku untuk merasakan kembali suasana sekolah.

Namun, aku menolak berada di tempat asing yang ramai berdua saja. Jadi, Mima berinisiatif mengajak Lofi dan Adikku.

Saga sulit ditemui akhir-akhir ini. Tumben sekali, biasanya dia yang paling sering memunculkan diri dan memaksa ikut kalau ada agenda begini.

Yah, dia Peri Nascombe. Tidak heran.

Kami sampai di sekolahnya yang dua kali lipat lebih luas dan besar dari sekolahku. Lofi lebih tercengang karena tata letaknya kelewat teratur dari sudut pandangnya. Agar tidak dicurigai, kami memakai seragam sekolah remaja Jepang yang Mima pinjamkan.

Ah, salah. Tepatnya, dia ingin lihat kami memakai seragam sekolah ini dan mengambil foto bersama nantinya.

"Ada berapa orang yang bersekolah di sini?" tanya Lofi.

"Hmm, empat ratus lebih—"

"EMPAT RATUS?"

"Di sekolah kami, muridnya bisa sampai delapan ratus dalam satu area meliputi sekolah dasar sampai menengah ke atas, loh," timpal Radit.

Lofi menganga.

"Masuk, yuk," ajaknya.

Baru saja masuk, aku rasanya sudah ingin keluar lagi. Demi tuhan, semua orang dengan banyak kostum dari pameran berbeda-beda sedang meneriakkan slogan mereka untuk menarik konsumen. Teriakan mereka bercampur menjadi kebisingan yang memekakkan.

"Loh." Aku menoleh ke kanan-kiri, tak melihat Lofi, Mima dan adikku di sekitar.

Aku pun panik. Yang benar saja! Aku tidak mau ditinggal sendiri di situasi begini!

Memanggil nama mereka pun percuma di tengah hiruk-pikuk promosi para murid Festival, jadi aku melangkah selagi melihat ke sana-kemari.

Duh, Radit ...

Mima ....

Lofi!

"Kalian di mana." Suaraku mulai terdengar seperti rengekkan. Andai saja kami memakai baju ras Daun biasa, aku bisa membedakan mereka dengan mudah!

Mendadak tanganku dipegang seseorang dari samping belakang. Aku menoleh ke arahnya, mendapati laki-laki bersurai hitam kemerahan dengan kulit agak sawo matang.

"Kamu terpisah dari temanmu?" tanyanya.

Berhubung aku sudah menegak pil bahasa Bumi ini beberapa minggu lalu, aku paham bahasa Jepang. "Y-ya."

Dia menoleh ke arah lain sejenak lalu menunjuk ke sana. "Bagaimana kalau kita menepi dulu? Di sini susah bergerak."

Aku mengangguk saja, setuju juga padanya.

Dia menarikku ke ruang kelas yang sedang diubah menjadi pameran lagu dan aku dipersilakan duduk di samping seseorang yang mengurus tiket masuk. Seseorang itu laki-laki bersurai hitam berujung biru—warna alami, kah?—dan ... tunggu, dia laki-laki, kok wajahnya cantik?

"Siapa dia, Tanjiro?" tanyanya dengan kesan judes ke laki-laki yang membawaku ke mari.

"Ah, iya. Kita belum berkenalan, jadi aku tidak tau kamu siapa. Nama?" tanya si Tanjiro itu dengan ramah.

"Athyana ...."

"Atchiana?"

Salah.

"Anna," timpalku, meski agak tidak nyaman dipanggil akrab oleh orang asing, yang penting namaku mudah disebut.

"Ooh, Anna. Kelas berapa?"

"Kelas satu SMA."

"Adik kelas, kah." Dia berjongkok di depanku yang duduk. "Temanmu siapa? Kalau kamu tidak keberatan untuk aku ketahui."

Aku menimbang-nimbang sejenak. "Mima ... sebentar. Aku lupa nama keluarganya ...."

"Mima? Terdengar tidak asing. Anak Klub Fotografi?"

"Ya!" spontanku.

"Halah, Mima rupanya," ungkap si laki-laki petugas tiket. "Kita buat panggilan lewat radio pengumuman saja, seperti biasa."

"Benar juga." Tanjiro bangkit dari jongkok. "Aku akan memanggil temanmu, jadi tunggu di sini, ya. Inosuke, permen gratis kita masih ada? Boleh berikan beberapa padanya?"

"Dia bukan pengunjung, Monjiro."

"Yang benar 'Tanjiro'. Tadi kamu benar mengatakannya, kenapa tiba-tiba berganti lagi?"

Inosuke memberiku permen yang dimaksud sebanyak empat buah. Permen jeli buah rasa jeruk, anggur Muscat dan anggur ungu.

"Jangan komplain," timpalnya sembari menutup stoples permen dengan jutek.

Nyaliku turun 20 persen setiap laki-laki itu berkata padaku dan sekedar menatapku dari ujung mata.

Aduh, aku jadi menyesal setuju di bawa ke sini. Dia seram!

Buku Harian Bumi [FF Forestesia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang