???
Mima ....Kutatap terus jasad wanita tercinta yang kini kosong tanpa jiwa, terbaring di dalam tabung rawat yang sudah dinonaktifkan fungsinya.
Aku menunggu matanya terbuka. Sejak lima tahun lalu dia dirawat, kekuatan di tubuhnya direnggut waktu. Mulai dari kehilangan kekuatan untuk berdiri, lalu kesulitan duduk, kesulitan bicara, tak lagi bisa mendengar, lalu sekarang kami tak bisa lagi berbicara lewat mata.
Aku sudah berusaha. Sudah menyelamatkannya dari kematiannya sendiri lima tahun lalu. Berharap dengan begitu, kami terus bersama lebih lama. Tidak, selama-lamanya.
Agaknya, tindakanku berujung Karma.
Takdir tidak mau aku ikut campur sejauh itu.
Aku pukul kaca ruangan. Terus kenapa kalau aku ikut campur? Kau pikir, aku akan diam setelah kau memberiku pelajaran seperti ini, Takdir?
Tidak.
Aku sudah tau cara ke masa lalu. Dan aku akan mengulanginya lagi. Aku akan terus kembali, menjemput garis waktu di mana Mima dan aku bisa hidup bersama dengan lama!
Aku pulang ke rumah, mencari barang Mima yang sekiranya ia dapat dari beberapa puluh tahun yang lalu.
Foto, kaset, video tape, semua barang berjenis 'memori' bisa ku gunakan sebagai pengacu ketika berpindah garis waktu. Lebih bagus lagi kalau barang-barang yang terkenal, yang menggores sejarah pada rentang waktunya.
Kudapati alat pemutar musik keluaran terakhir di tahun 2029 sebelum perusahaannya hancur saat Apocalypse ke 3 tepat setahun setelahnya. Alat musik yang bisa memakai memori card versi lama, ditunjukkan untuk orang-orang yang suka bernostalgia dengan lagu-lagu zaman lampau.
2029 ... tidak. Aku perlu pergi lebih jauh. Jauh sebelum tahun itu.Bagaimana dengan memorinya?
Saat aku mencari bagian yang sekiranya tempat memasukkan memori card, jemariku menekan salah satu tombol, membuat perangkat itu mendendangkan musik.
Aku tidak tau siapa yang menyanyikannya atau apa judul lagunya, tapi dari senandung di awal lagu ini, aku langsung tau ini lagu yang sering Mima nyanyikan.
Hatiku kembali pilu, mengingat suaranya dan membayangkannya sedang ikut menyanyi mengikuti lagu ini.
Langit dan laut saling membantu
Mencipta awan hujan pun turun
Ketika dunia saling membantu
Lihat cinta mana yang tak jadi satu
Aku terbawa melodi dan lirik yang didendangkan. Aku sendiri bukan pencinta musik, tapi ... kata-kata ini seolah sedang menarikku ke ingatan di masa lalu.
Kau memang manusia sedikit kata
Bolehkah aku yang berbicara?
Kau memang manusia tak kasat rasa
Biar aku yang mengemban cinta
Agaknya sangat melantur aku mengatakan ini. Liriknya seperti ucapan Mima di saat itu.
Ya, maaf, aku memang tak pintar mengolah kata. Aku yang pendiam ini bertemu denganmu yang ada saja bahan bicaranya. Namun, justru karena itulah kita menjalin kasih. Bukan karena kesamaan, lebih karena perbedaan yang saling melengkapi. Bukan begitu, Mima?
Awan dan alam saling bersentuh (bersentuh)
Mencipta hangat kau pun tersenyum
Ketika itu kulihat syahdu
Lihat hati mana yang tak akan jatuh
Kupejamkan mata ketika suara penyanyi aslinya kini lebih terdengar seperti suara Mima. Dia yang sering menyanyikan satu dua kalimat untuk membalas ucapan, dia yang menyuarakan nada-nada lembut saat masih bisa beraktivitas ....
Dia yang menjadi 'Kebisingan indah' di dunia yang semakin sunyi karena terlalu sering terjadi bencana.
Kau memang manusia sedikit kata
Bolehkah aku yang berbicara
Kau memang manusia tak kasat rasa
Biar aku yang mengemban cinta.
Kau dan aku saling membantu
Membasuh hati yang pernah pilu
Mungkin akhirnya tak jadi satu
Namun bersorai pernah bertemu
Lagu sudah habis. Namun, aku kelu karena ingatan-ingatan masa lalu yang lagu itu tarik ke masa kini.
Kuseka air mata dengan segera, lalu terdiam melihat nama penyanyi, judul lagu dan tahun lagu tersebut dirilis.
Nadin Amizah, Sorai, 2019.
2019!
Seingatku, memori card yang masih digunakan di tahun itu ....
Aku melihat dengan cermat desain perangkat ini, kemudian kusadari ada garis halus yang memanjang di bagian belakang. Aku menekan dan menggeser ke bawah penutup di bagian belakang perangkat tipis itu, menemukan baterai dan memori card model lama terpasang di dalamnya.
"Ini dia!"
Aku menariknya keluar dan menggenggamnya di kepalan sambil mengingat tahun 2019.
Di tahun itu, umurku enam belas tahun dan Mima sudah kelas akhir SMA. Kami bertemu di klub 'Fotografi'. Dia sudah menyukai lagu sejak itu.
Seiring aku mengingat, aku merogoh jam pasir yang ukurannya tak lebih dari lima belas senti dari saku jaket. Jam yang kujadikan simbolis kemampuan 'Waktu' agar lebih mudah mengaktifkan kemampuannya.
Tiruan matahari ada di dalam penampung pasir bagian atas dan tiruan bulan ada di dalam penampung pasir bagian bawah. Mereka selalu berada di posisi yang sama meski aku memutar balikan jamnya.
Kuputar balik jam. Tubuh dan pakaianku menjadi transparan dalam hitungan detik diikuti pandanganku yang mulai kabur.
Mima ... kali ini aku akan terus bersama denganmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Harian Bumi [FF Forestesia]
RandomKerandoman manusia Bumi Kedua jika mereka datang ke tempat Bumi Manusia. Timeline dan Plot berada di luar cerita yang sebenarnya dan karya ini hanya sebagai lapak iseng saja. Makasih yang mau mampir :D