6. Kembali Bertukar Pesan

25 5 0
                                    

Bulan menggantung kesepian, bintang-bintang seolah menjauh, entah bintang itu merasa iri pada cahaya bulan atau justru merasa malu. Sepoi angin malam berusaha memburu ruangan, menyibak gorden dari sela ventilasi. Semesta semakin mencekam, tetapi lelaki itu masih terjaga, matanya setia menatap ponsel tanpa niat untuk terlelap. Tentu saja untuk mengurus beberapa persyaratan agar bisa memegang tokoh Kemal, ini semua demi upaya bertemu Mireya. Ah, tidak-tidak, upaya meminta maaf dan memastikan hidup Mireya sekarang lebih bahagia.

Tanpa gue cari tahu harusnya memang begitu. Mireya membuktikan keikhlasannya dengan nulis cerita tentang kita.

Satu ponsel tidak bisa dua akun WhatsApp,  maka Barata menggunakan ponsel lamanya yang dia dapat di nakas dalam kondisi penuh debu. Dia mengaktifkan nomor barunya di sana dan mencatat nomor yang tertera di postingan Mireya. Barata mengirim bukti follow dan bukti bahwa dia memang telah membaca kisahnya. Kemudian yang tak kalah penting, kini Barata sedang memperbaiki pita suaranya yang lebih mirip orang batuk dipaksakan.

"Rey bakal ngenalin suara gue ga, ya? Eh, emang dia masih ingat suara gue kayak gimana? Gue ambil nama siapa, ya?" Barata berpikir sejenak, "hm ... Barata ..., gue pake nama Bara aja, deh!"

Barata lalu menekan ikon mikrofon di sisi kanan dan mulai bersuara dengan agak berbeda, sedikit lebih berat. "Hai, gue Bara dan gue minat jadi pengisi, ralat, gue minat jadi role player dari tokoh Kemal. Seharusnya, suara gue ini cocoklah, ya, untuk ngisi tokoh Kemal. Secara, gue juga udah baca bukunya." Demikian isi pesan suara itu. Pesan terkirim, hanya saja tanda ceklis di bawahnya hanya berjumlah satu.

"Yah, gak on. Udahlah, tunggu besok kalau gitu. Harusnya lo bakal milih gue, Rey, siapa yang bisa meranin tokoh Kemal lebih baik dari Kemal asli dari kisah nyatanya?" katanya sembari terkekeh.

Setelah itu, Barata akhirnya memutuskan untuk menyimpan ponsel, menunggu kedatangan mentari di esok hari disertai notifikasi dari Mireya bahwa dia diterima. Lelaki itu lalu beralih ke meja pojok, disebabkan matanya masih enggan bertemu mimpi, dia akan mengedit sisa hasil foto di acara pernikahan siang tadi. Namun, sialnya Barata justru kembali tergerak mengambil si buku biru. Pikirnya, foto yang akan diedit sisa sedikit dan Barata memilih menjemput kantuk lewat jalan bergerilya pada imajinasi dan mungkin terwujud lewat sepenggal mimpi.

Membuka bab berikutnya, Barata tercengang dengan mulut terbekap. Adegan di bab ini sungguh terkenang abadi dalam hati dan ingatannya. Hari di mana dia resmi menjalin hubungan meski untuk sementara memilih untuk backstreet atau dirahasiakan. Mireya yang memintanya.

"Hai, Rey, tumben kita gak ketemu pas lagi hujan." Semenjak mengetahui Mireya sering menikmati sore dengan berjalan kaki, Barata juga jadi sering meninggalkan motornya dan memilih menemani langkah gadis itu.

"Langitnya lagi mood, kali."

"Langit udah kayak cewek aja, suka gak mood tiba-tiba."

"Daripada sama kayak cowok? Suka berubah tiba-tiba."

Bukannya merasa disinggung, Barata justru mengeraskan tawanya. Hal itu membuat Mireya semakin jengkel.

"Tuh, kan, bener. Orangnya ketawa berarti emang bener cowok suka berubah-ubah. Udah, gak usah deket-deket aku lagi, Kak." Kebiasaan gadis itu melangkahkan kakinya lebih cepat jika ingin menghindari Barata, padahal sejatinya pun dia ingin Barata mengejarnya.

"Rey ...," panggil Barata pelan, amat lembut. Langkah Mireya pun spontan terhenti, tetapi tegap menolak untuk berbalik. "Aku sama Oya gak ada apa-apa. Aku juga gak berubah sama sekali, aku sayang sama kamu."

Detak jantung Mireya serasa berhenti, ada bongkahan rasa yang sulit untuk ditampungnya dalam hati. Seluruh tubuhnya terasa bergetar, hawa aneh menembus perasaannya. Dia berharap yang dia dengar barusan tak ubahnya kicauan burung di sore hari. Namun, sayangnya derap langkah pelan itu semakin mendekat, lebih mendekat, hingga jemarinya digenggam dari samping. Sang pelaku kini telah berdiri tepat di hadapannya dengan jemari terpaut, pandangannya pun juga saling bertarung pada gejolak rasa yang membumbung.

"Rey ...."

Sial-sial, panggilan itu bisa buat aku gila! pekik Mireya dalam hati. Menanti apa yang akan dilakukan lelaki berkulit agak gelap, tetapi dengan aura karismatik yang kuat.

"Aku cinta sama kamu. Aku pengen selalu berada di sampingmu, mendengar bunyi napasmu yang seolah menjadi sederet puisi dengan diksi indah, menjadi tempatmu bercerita ketika tokoh favorit dalam buku-buku yang kamu baca meninggal. Rey, mau, ya? Aku tulus sama kamu."

Atmosfer di sekitarnya serasa berhenti, ada cekaman yang menyelimuti tubuh mereka. Mireya masih mematung, mengedipkan mata juga rasanya tak sanggup. Hatinya bimbang. Detik berlalu lambat, Mireya mengerjap berkali-kali demi kembali meraih detak jantung yang wajar.

"Kak, sejak kapan ganti jadi aku-kamu? Niat banget deketin aku sampai belajar kosakata juga." Mireya melepas kaitan tangan mereka dan berlari. "Kejar, Kak! Kalau berhasil ngejar aku terima, lucu banget liat Kak Bar kayak tadi, padahal awalnya kaku banget! Pakai gue-lo lagi!"

"Wah, gak ada habis-habisnya ni cewek nantangin. Gak akan selamat lo hari ini!" Kembali pada kebiasaan bercakap. Berlatar jingga sore yang memesona, mereka berkejaran.

Barata terbangun disambut silau fajar, dirinya terlelap setelah menyisakan separuh bukunya lagi. Terbayang adegan dalam bab yang dia baca semalam, berhasil menerbitkan senyum indah di bawah lelaki itu. Andai ... ah, Barata menggeleng tegas. Bukan lagi waktunya untuk berandai-andai. Usai mengumpulkan nyawanya, tangan Barata meraih ponselnya. Satu notifikasi yang paling ditunggu rupanya ada di antara puluhan notifikasi lain.

"Eh, dibalas?" Matanya berbinar-binar. Tak ingin membuang waktu lebih banyak lagi, Barata terduduk refleks dan membuka kolom pesannya dengan Mireya.

"Hai, maaf baru balas, ya. Wah, suara kamu kayaknya memang cocok. Tapi tunggu dulu tiga hari lagi, ya. Pengumumannya akan aku bagikan di hari itu. Terima kasih sudah bersedia daftar." Isi balasan dari Mireya.

Entah sudah berapa kali Barata merafalkan kalimat itu. "Delapan tahun ... selama itu gue lost contact sama dia. Bisa gila beneran gue lama-lama, gue harus balas apa?" Barata jadi mencak-mencak sendiri di atas kasur empuknya.

Berulang kali dia mengetik sesuatu lalu menghapusnya lagi, beberapa kali juga dia bertanya apakah harus dibalas atau tidak.

"Rey, ini gue, Barata Samaratungga. Gue kangen sama lo." Tentu saja pesan itu kembali dihapus. Dengan embusan napas pelan, Barata akhirnya hanya menjawabnya dengan ....

"Iya, Kak. Senang sekali bisa menjadi penggemar karyanya. Sehat-sehat selalu."

Beberapa menit, balasannya kembali masuk. "Terima kasih, Kak Bara, salam kenal."

Salam kenal juga, Mireya ... untuk kedua kalinya.

Expired [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang