Ada napas memburu yang menerpa layar ponsel Barata, dia berharap tidak pernah membaca balasan pesan dari Dissy. Deretan katanya yang tidak seberapa membuatnya kesal bukan main, ada rasa remuk dalam hatinya. Dingin malam yang mencekam tidak ada apa-apanya dibandingkan hatinya saat ini. Segala asumsi pembelaan dia kumpulkan, demi menemukan cela kebohongan dari pernyataan bahwa Mireya memang sudah memiliki pasangan saat ini.
"Woy, kenapa lo? Lo, tuh, aneh banget! Lo tiba-tiba beli bukunya, terus nanya soal ceritanya, habis ini lo malah nanyain penulisnya punya cowok apa kagak. Apa jangan-jangan ...." Satu pesan masuk dari pengirim yang sama, Dissy.
Pesan kedua menyusul hanya dalam sepersekian detik. "Jangan-jangan lo Kemal yang asli, ya? Wah, parah! Nyambung soalnya, nama akhir lo juga sama, Samaratungga! Gila, lo beneran mantannya Mireya, Bar? Kemal yang bajingan itu?"
"Sialan lo, Dis!" Barata ketahuan. Wajahnya menyerupai seekor banteng yang menemukan warna merah. Bersiap menerjang Dissy meski hanya sebatas memblokir nomornya. Kesalahan tersebarnya mungkin adalah bertanya pada Dissy. Dia mungkin memang mendapatkan jawabannya yang memilukan, tetapi harus menanggung konsekuensi yang sepadan.
"Bener, kan, kata gue?" Pesan yang saat ini sangat mengganggu Barata kembali masuk. Rasanya dia benar-benar ingin memblokir Dissy sekarang.
Dengan malas Barata membalas pesannya. "Ga usah ngaco lo! Sono tidur, tu kuntilanak samping lo!"
Usai mengirim itu dan dipastikan perintah yang lebih terdengar sebuah elakan mencolok, Dissy tidak akan menggubrisnya atau justru semakin mengejek lelaki itu. Peduli setan, Barata mengarsipkan nomor Dissy dan kembali melihat laman status Mireya. Entah sudah berapa lama dia menatap foto itu. Sampai bosan. Sampai sakitnya melampaui batas.
"Katanya yang tulus tidak akan cepat dapat pengganti, tapi, kok, malah duluan lo, Rey. Gue gak berharap gue duluan yang dapat, malah gue mau perjuangin lo sekali lagi meskipun udah terlambat banget." Seruan cicak di dinding seolah menertawakan Barata, bahkan detak jam pun serasa demikian. Malam semakin larut, tetapi pikiran Barata benar-benar riuh melebihi pasar-pasar sembako murah.
"Dissy ngerjain gue ga, sih? Gue ga percaya banget kalau Mireya udah ada pengganti gue!" Terkurung dalam tanda tanya besar, rupanya kantuk menjadi penyelamat. Setidaknya dalam mimpi Barata tal perlu mengingat fakta menyedihkan bahwa dia sudah benar-benar tergantikan. Barata seharusnya bahagia, bukankah Mireya akhirnya menemukan seseorang berhasil meyakinkan dia untuk kembali jatuh cinta? Namun, Barata egois. Dia ingin merealisasikan bahwa dialah luka sekaligus obat untuk Mireya.
Di satu sisi Barata ingin sekali merasakan 'pulihnya' luka yang sudah dis cipta, mengingat perkataan Hellina tempo hari yang mengatakan betapa Mireya tak lagi percaya akan kata setia. Namun, di sisi lain, bermula dari datangnya kembali harapan untuk memperbaiki, ada ruang yang terpatahkan oleh harapan yang sejatinya memang tak pernah ada. Hanya diada-adakan oleh Barata. Untaian khayalan yang menggantung menjadi pengantar tidur Barata. Dia akhirnya benar-benar terlelap, dengan buku sampul biru dalam pelukannya.
Tidur dalam keadaan hati tak baik-baik saja itu sungguh buruk.
Pagi hari kembali datang membawa sinar kehidupan, membisikan pada telinga-telinga lewat cahaya lembutnya yang menusuk bahwa masih ada mimpi yang belum terwujud. Mimpi yang harus dikejar alih-alih benar-benar hanya menjadi mimpi lewat tidur. Seorang lelaki dengan sisa liur di bibir bangun dengan malas. Andai hari ini tidak ada jadwal potret seangkatan untuk siswa SMA akhir, dia mungkin tetap mendekap di balik selimut dan meratapi nasib.
Tampilan Barata setelah bertemu kamar mandi jauh lebih segar, tidak lagi menyisakan sirat keputusasaan meski tatapan kosong itu masih ada. Dia segera mengambil tas kesayangannya di samping ranjang. Setidaknya saat bekerja bisa buat pikiran gue melupakan sejenak soal masalah hati, pikirnya.
Langkah beratnya diseret meninggalkan kamar, meraih kunci mobil dan melajukannya di antara kendaran yang punya tuju masing-masing. Polusi jalanan tidak berkurang meski keadaannya masih pagi, klakson dari orang-orang sibuk yang tidak sabar bertemu tumpukan pekerjaan menjadi nyanyian mengalahkan kicauan burung. Tak ada yang istimewa selama perjalanan, yang lebih baik adalah keselamatan memaksa Barata tetap fokus alih-alih melamun dengan keresahan hati, atau dia akan bertemu Tuhan.
Berselang beberapa menit, lelaki akhirnya sampai di halaman sekolah. Agendanya adalah pagi ini foto dengan atribut sekolah, menjelang sore ke padang terbuka dengan tone pakaian yang sama, hitam putih. Tak sampai di situ, suasana malam tidak boleh terlewatkan dengan lampu kelap-kelip tentu saja. Barata maju menyapa beberapa kenalan siswa. Usai cakap basa-basi, rombongan yang jumlahnya ratusan memenuhi aula dalam sekejap. Ratusan kursi sudah disusun dan ditumpuk. Demi menciptakan foto yang fenomenal, mereka semua siap mengikuti instruksi Barata.
Sejauh ini acara foto rombongan itu berjalan menyenangkan, sebelum akhirnya Barata bertemu dengan kawan lama, teman seperjuangan semasa putih abu-abu.
"Eh, Barata?"
"Eh, Bro!" seru Barata menjawabnya.
"Wuih, jadi fotografer?"
Barata mengiyakan, lantas ber-tos ala cowok yang baru bertemu—tidak cipika-cipiki seperti cewek, tentu saja.
"Guru di sini?" Barata balik bertanya.
"Ya, seperti yang lo lihat. Guru olahraga."
Barata lalu menggodanya. "Langganan siswi cantik, nih!"
Tawa mereka meledak, dengan pusat pemikiran yang sama. Tak ingin berlama-lama dengan topik itu, sisa tawanya mereka pendam. Sembari pada siswa menuju kantin menikmati es teh di tengah sengatnya matahari, Barata bersama teman lamanya itu menepi sebentar ke koridor kelas untuk melanjutkan pembicaraannya.
"Jadi, gimana kabar lo?"
"Baik, tentu saja. Lo sendiri?"
"Ya ... masih jomlo tulen, sih! Gak tau sampai kapan. Gue pengen nikah!"
Air muka Barata berubah seketika, kedengarannya ini lebih lucu lagi. "Jangan gitu, Bro! Umur segini gue juga masih jomlo!" Ya, mereka sedang mengadu nasib.
"Eh, Bar, lo tau kabar dari angkatan kita gak?"
Tampak berpikir, Barata memang tidak memiliki apa-apa soal bagaimana kondisi teman-temannya. Hidupnya terlalu jauh, atau mungkin Barata hanya pura-pura sibuk dan terlalu malas untuk aktif di grup angkatan yang sekarang nunggu sepi. Ramainya ketika ada kabar menggemparkan saja, misalnya kabar salah satunya menjadi janda karena memilih kawin lari sama pacar.
"Gak, sih, Bro. Ga ada yang menarik sejauh ini."
"Yakin? Lo ga tau, Bar?"
Kening Barata mengerut. "Apa emangnya?"
"Jadi, lo ga bercanda? Lo ga dapat undangan?"
"Langsung ngomong aja, sih! Ada apa?" desak Barata tak sabar dan detak jantungnya berpacu sedikit lebih cepat, tak mengapa. Spontan.
"Bar ... Mireya mau nikah! Iya, Mireya mantan lo!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Expired [TERBIT]
RandomThis is a Novelette 🌻 Juara 🥇 dalam Event Novelet tema HeartBreak bersama Book Office Ketika 'luka' abadi dalam bait narasi. Barata memutuskan membeli buku setelah melihat nama penulisnya yang tak asing. Sebuah buku berjudul 'You Are 2016 Era' ya...